Friday, August 25, 2006

Mengenang Letusan Gunung Krakatau 1883


TERDENGAR dentuman yang sangat keras, lalu langit Pelembang gelap gulita. Debu turun tiada henti. Rentetan letusan dahsyat Gunung Krakatau di Selat Sunda itu puncaknya terjadi pada tanggal 27 Agustus 1885 pukul 10.02 dan 10.52. Dentumannya terdengar hingga di Australia. Batu apung dan debunya dilontarkan ke angkasa hingga mencapai ketinggian 80 km. Abu yang melayang-layang itu telah menurunkan suhu selama dua tahun. Abunya kemudian jatuh di kawasan seluas 827.000 km2.
Dentumannya terdengar sampai ke Sri langka dan Karaci (di barat). Dan ke timur sampai ke Perth dan Sydney. Abu letusan yang disemburkan ke angkasa lalu menyebar ke sebagian besar dunia. Cahaya matahari menjadi redup. Warna matahari terlihat hijau, kadang merah, atau kuning.
Abu Krakatau memenuhi atmosfer, sehingga memengaruhi cahaya matahari. Kejadian di Surabaya, misalnya, matahari terlihat berwarna kuning beberapa hari. Sedangkan di Tokyo Jepang, warna matahari menjadi merah tembaga. Empat bulan setelah letusan Krakatau, warna matahari yang terlihat dari Hong kong berubah-ubah secara mengejutkan. Kadang hijau, merah, kemudian hijau kembali. Sedangkan di Missouri Amerika, 6 bulan setelah letusan, matahari menjadi kuning dengan dikelilingi lingkaran warna hijau.
Willard Person Wayne memperkirakan besarnya letusan Gunung Krakatau saat itu mencapai 21.428 kali bom atom yang diledakkan di atas Los Alamos tahun 1945. Energi yang dipancarkannya sebesar 0,019 mega ton. Besarnya letusan Gunung Krakatau 1883 mencapai 6 VEI-Volcanic Explosivity Index (Tom Simkin, 1981). Sebagai bandingan, letusan Gunung Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 1982-1983 hanya berada pada level 2-3 VEI.
Letusan maha dahsyat itu telah meruntuhkan tubuh gunungnya ke dalam laut. Ambruknya tubuh gunung seluas 18 km2 itulah yang telah menimbulkan tsunami raksasa yang menyapu pantai Banten dan Lampung. Menurut Matahelumual (1992), tsunami Krakatau itu bukan hanya akibat runtuhnya tubuh gunung, namun berbarengan dengan itu terjadi pula gempa tektonik yang berpusat di Selat Sunda.
Tsunami yang menyapu pantai Banten dan Lampung itu telah menewaskan 36.417 orang. Sebanyak 165 kampung dan dusun musnah, dan 132 lainnya hancur sebagian.
Napi berzikir
Kisah nyata Ny. Lindeman yang berada di Kapal Loudon dengan posisi di Selat Sunda saat terjadi letusan Krakatau, akan menambah penghayatan kita terhadap bencana tersebut.
Pagi sekitar pukul 7.00 tiba-tiba datang gelombang yang sangat besar dan semakin dekat dengan kapal. Kapal kami seperti dinding terjal yang menjulang tinggi. Gelombang sudah sangat dekat. Tiba-tiba kapal terasa seperti tercampakkan dan terbenam ke jurang air yang sangat dalam. Gelombang segera berlalu, Loudon terbebas dari malapetaka.
Pagi itu kami juga menyaksikan gelombang seperti air terjun raksasa yang dahsyat mengamuk dan menerjang kota Telukbetung. Tiga kali gelombang beruntun menghancurkan ibu kota Keresidenan Lampung. Kami menyaksikan bagaimana mercusuar patah, dan menyaksikan bagaimana dahsyatnya gelombang menyapu pemukiman penduduk.
Kapal Berauw ternyata diterbangkan ke dataran tinggi. Dari tempat kami berdiri, diperikirakan setinggi pohon kelapa. Telukbetung yang indah, untuk beberapa saat menjelma menjadi bagian dari laut, dengan keadaan yang sulit dilukiskan.
Kejadian-kejadian itu berjalan sangat cepat, dengan tiba-tiba, dan tak terduga. Terjadi pemusnahan yang sukar ada tandingannya dengan menelan korban jiwa.
Karena Telukbetung tak bisa dihubungi dari laut, akhirnya nakhoda Loudon mengambil keputusan untuk memutar haluan, balik lagi ke Anyer, guna menyampaikan laporan mengenai apa yang terjadi di Telukbetung.
Semua penumpang Loudon merasa beruntung, dan sangat bersyukur, mereka telah terhindar dari maut. Pada malam yang mengerikan itu, air laut bergelombang raksasa, sehingga penumpangnya tak jadi turun karena kapal sulit untuk merapat.
Walau baru jam 11.00, hari semakin gelap, bahkan tangan sendiri pun tak tampak. Keadaan ini berlangsung selama 18 jam. Dalam kegelapan itu turun hujan lumpur yang menimbun kapal setebal setengah meter. Lumpur gunungapi ini telah menutupi lubang telinga, mulut dan hidung, sehingga pernapasan menjadi sangat terganggu.
Laut bergejolak hebat. Angin kencang berubah menjadi topan, menjadi puting beliung. Terjadi serangkaian gempa laut. Gelombang raksasa terus mengancam. Gelombang yang sangat besar telah menyebabkan Loudon terombang-ambing, sehingga para penumpangnya ketakutan, khawatir kapal yang ditumpanginya akan karam.
Suasana bertambah mencekam. Di atas tiang kapal yang tinggi, bermunculan bunga-bunga api kecil warna biru. Kami menyebutnya api St. Elms. Menurut kepercayaan para pelaut, bila ada tanda-tanda itu, pertanda kapal akan tenggelam. Penumpang berusaha untuk memadamkan api namun gagal. Api muncul di tempat lainnya. Saat-saat yang mencemaskan. Menakutkan.
Di antara selang satu gempa dengan gempa berikutnya, suasana benar-benar mencekam. Sunyi. Dalam kehampaan itu, tak ada sesuatu yang bergerak, kecuali suara para narapidana yang diangkut dengan kapal kami. Mereka mendiami bagian depan kapal. Mereka dicekam oleh perasaan getir melihat kenyataan bencana. Tak henti-hentinya mereka berzikir, La ila ha Illallah. La ila ha Illallah. Terus bergema tiada henti.
Nirca Sultan Muda
Sultan Palembang mempunyai anak, sultan muda yang bernama Prabu Jain. Entah kenapa, sultan muda itu kemudian diasingkan oleh pemerintah kolonial ke suatu tempat. Dalam pengasingannya itulah Prabu Jain mengadakan hubungan terlarang dengan anak tirinya yang bernama Bunju.
Nirca (perbuatan yang melanggar hukum agama) sultan muda dengan anak tirinya itu diungkap oleh A.B. Lapian dari Lembaga Kebudayaan nasional-LIPI (1983).
Hubungan nirca itu diketahui Sultan Palembang bertepatan dengan bencana Krakatau yang tiada henti. Sultan percaya, penyebab bencana itu karena seorang gadis yang bernama Bunju, yang mengadakan hubungan terlarang dengan bapak tirinya yang bernama Prabu Jain. Agar bencana itu segera berhenti, maka Bunju harus segera dihukum mati.
Sovinisme laki-laki di kesultanan itu memang tidak adil. Perbuatan nirca dilakukan berdua, namun, yang harus menerima deritanya hanya seorang diri, yaitu Bunju. A.B. Lapian menulis, "Walau pun ada dua manusia yang melakukan perbuatan dosa dalam kisah percintaan gelap tersebut, si wanitalah yang dianggap sebagai "biang keladi perbuatan iblis" itu.
Melihat kenyataan itu, Residen Palembang (pejabat kolonial) segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan gadis malang tersebut. Sultan Palembang terus mendesak residen agar Bunju diserahkan kepadanya untuk dihukum mati agar bencana segera berakhir. Namun residen berketetapan hati bahwa Bunju harus diselamatkan. Sultan memberikan pilihan, karena Bunju tidak diserahkan, Bunju harus segera meninggalkan Palembang. Residen setuju, akhirnya Bunju diasingkan ke Kau, tempat yang berada di Pulau Halmahera.
Bunju yang telah menyimpan benih dari sultan muda harus berlayar sejauh + 2.500 km. untuk sampai di Kau yang berada dekat muara sungai Kau, di bagian utara Teluk Kau. Pulau Halmahera merupakan satu dari sekian puluh gugus pulau yang berada di tepian Samudra Pasifik.
Pulau Halmahera mempunyai deretan gunung, terlebih di bagian tengahnya. Dataran rendahnya hanya terdapat di sepanjang pantai, seperti yang terdapat di Kau seluas 15.000 ha. Pulau ini beriklim tropis dengan musim hujan berlangsung antara Desember-Maret. Selama musim hujan ini angin bertiup dari barat dan barat laut yang tidak teratur, dengan curah hujan rata-rata 3.000 mm per tahunnya. Pulau Halmahera termasuk pulau yang cukup menerima hujan bila dibandingkan dengan pulau-pulau di selatannya. Musim kemarau terjadi antara Mei-Oktober. Angin timur, tenggara, dan selatan yang kering meniup kawasan ini dengan suhu rata-rata 26,30 oC. Suhu puncaknya bisa mencapai 330 0C, dan terdingin mencapai 150 0C. Selama April-November terjadi musim pancaroba/peralihan.
Penduduk yang pertama kali datang di kawasan ini adalah keturunan ras Austro-Melanesia dan Proto Melayu. Suku halmahera adalah satu dari sedikitnya 43 suku bangsa yang ada di kawasan ini. Di sini setiap suku bangsa mempunyai bahasanya sendiri. Tak kurang dari 210 bahasa yang terdapat di sini, namun bahasa Halmahera cukup luas penyebarannya.
Rumah aslinya bertiang dengan atap daun sagu. Dindingnya terbuat dari gaba-gaba, tangkai daun sagu yang kuat.
Halmahera terkenal dengan hasil rempah-rempah, seperti cengkeh, pala, dan kelapa. Perairan lautnya kaya rumput laut, ikan, udang, kerang, penyu, cumi-cumi, dan teripang. Sedangkan dari kebun petani dihasilkan jagung, ubi kayu, uji jalar, kacang tanah, sayuran, dan buah-buahan. Dari hutannya dihasilkan kayu meranti, kayu besi, kayu linggua, kayu goppasa, cendana, damar dan rotan. Pulau ini menyimpan banyak potensi bahan tambang, sepeprti minyak bumi, nikel, dan krom.
Di Pulau Halmahera itulah Bunju diasingkan. Tak ada kejelasan, apakah Bunju terus menetap di Kau, atau mendapatkan pengampunan sehingga bisa pulang ke Palembang?
Kalau masih di Halmahera, pasti Bunju sudah meninggal saat gugus kepulauan di tepian Samudra Pasifik ini dijadikan basis pertahanan tentara Jepang dan Sekutu saat berkecamuknya Perang Pasifik. Tak terkecuali di Kau. Di Pulau Morotai, misalnya, ada prajurit Jepang yang tertinggal sendirian. Ia bertahan hidup di hutan hujantropis dalam perasaan masih berperang. Saat ditemukan tahun 1980-an, Nakamura masih terus bertahan layaknya dalam situasi pertempuran.***
Penulis, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung

Thursday, August 10, 2006

Hati hati Kail dalam Ikan Kaleng

Hati hati Kail dalam Ikan KalengKail dalam Ikan KalengSaya membeli ikan Mackerel kalengan merek Botan A1 di toko Alfamart, Jalan Raya Serpong, Tangerang (16/6). Setibanya di rumah, saat itu juga ikan kalengan dibuka dan diolah untuk lauk santap malam. Pada saat makan malam bersama, istri saya mengunyah sesuatu benda keras. Rupanya tak terduga ia menggigit kawat pancing (kail) yang masih terikat benang senar sepanjang lebih kurang 2 sentimeter di dalam ikan yang disantapnya. Beruntung ujung kail yang lancip tidak melukai lidah atau menancap di mulutnya.Kejadian itu membuat terkejut dan suasana makan menjadi tidak enak. Terlebih saat itu ada seorang teman yang ikut makan malam bersama dengan lauk yang sama. Saya menyimpan kail dan benang senar berikut kaleng bekas makanan tersebut, dengan harapan pihak produsen makanan itu dapat menginvestigasi masalah ini dan kemudian dapat menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi.Seandainya dalam memasak konsumen diharuskan membelah-belah ikan yang disajikan supaya kail, benang senar, atau apa pun yang ada di dalam daging ikan dapat diketahui sebelum disantap, seharusnya peringatan itu dicantumkan di luar kaleng. Di bagian atas kaleng tertulis: MEI UC SJ 04/05 EXP 17 APR 2009. Di bagian sisi kaleng tercantum: Bahan-bahan: Ikan Mackerel, Saus tomat, Garam, Cornstarch. Diproduksi oleh: Maya Food Industries Pekalongan-Indonesia untuk PT Indo Maya Mas, Jakarta. Lisensi dari Mitsui Co., Ltd., Tokyo, Japan.Saya yakin produk makanan kaleng semacam ini tak pantas mendapat lisensi dari Jepang atau dari negara mana pun. Atau tulisan tersebut sekadar tulisan yang tidak mencerminkan standar kontrol kualitas makanan yang ditetapkan? Sasongko Adiyono Kampung Kamurang Atas RT 04 RW 01, Paku Alam, Serpong, Tangerang