Tuesday, July 10, 2007

Koalisi Golkar-PDIP

PERTEMUAN Partai Golkar dan PDIP di Medan, Sumatera Utama, mengundang banyak tafsiran sekaligus memancing riak-riak politik 2009. Pasalnya dalam pertemuan tersebut, muncul pernyataan soal kesamaan ideologi nasionalisme dan sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, tergagas pula bahwa jika dua partai terbesar ini bersatu, maka mereka akan banyak meraih kemenangan pada Pilpres 2009.
Pertunjukan politik yang digelar kedua partai besar itu, tak heran memunculkan intrik politik dan sejumlah spekulasi kemungkinan koalisi pada pemilihan kepala daerah, hingga pada persoalan memenangkan pertarungan pada penyusunan paket RUU bidang politik (RUU Parpol, RUU Pilpres, RUU Susduk, dan RUU Pemilu Legislatif) dan koalisi pada Pilpres 2009.
Ada pula yang bertanya, mungkinkah koalisi nasionalis atau kebangsaan Golkar-PDIP terjadi? Mungkinkah partai pendukung pemerintah (Golkar) berkoalisi dengan partai oposisi (PDIP)? Jawabnya, selain sangat mungkin, itulah sebenarnya tuntutan kondisi politik nasional yang kini berada pada situasi karut-marut dan penuh dengan ketidakpastian.
Apa yang sebenarnya terjadi? Tentunya ada perbedaan dengan silaturahmi antara Golkar-PDIP kali ini. Dengan adanya kesamaan sikap politik dari kedua partai tersebut, dari awal sudah dapat ditebak, meski dikemas dengan kata-kata halus, sesungguhnya adalah koalisi Golkar-PDIP.
Satu hal yang mungkin melatarbelakangi model "Silaturahmi Golkar-PDIP", bisa jadi adanya kerisauan atas berbagai isu politik nasional yang arahnya semakin tidak menentu. Sehingga digagas oleh kedua partai itu sebagai suatu proses politik yang demokratis yang diharapkan berlangsung secara alamiah dan bottom up. Pada akhirnya akan berujung pada koalisi yang permanen. Yang hendak dicapai dari koalisi permanen itu, tentunya adalah kekuatan politik yang kuat serta akan menjadi jawaban bagi sistem multipartai yang sementara ini kita anut, dan telah menempatkan kepemimpinan nasional berada pada situasi yang sulit. Meski tak etis disebut "gagal" memiliki kepemimpinan yang kuat karena tidak ada kekuatan politik yang kuat sebagai penopangnya.
Dalam kondisi tersebut, munculnya sikap-sikap ambivalen yang terus mengemuka, rasanya cukup sulit untuk memiliki pemerintahan yang kuat dan stabil. Padahal itu merupakan modal dasar bagi lajunya pertumbuhan ekonomi nasional. Mungkin alasan itulah terjadi koalisi permanen antara Golkar dan PDIP. Yang pada intinya suksesi dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2009, bahkan mungkin lebih dari sekadar itu.
Terjadinya koalisi tersebut, jika diamati ada sisi baiknya. Minimal ada dua yang ingin dicapai dari koalisi Golkar dan PDIP. Pertama, silaturahmi itu paling tidak akan mencairkan perbedaan pendapat antara Golkar dan PDIP, setelah sekian lama berseberangan. Kedua, silaturahmi itu menjadi contoh bagi seluruh anak bangsa tentang kematangan berpolitik. Artinya, partai politik dan demokrasi itu adalah kendaraan (vehicle) bagi mensejahterakan bangsa dan negara sehingga perbedaan pendapat haruslah dikelola dengan baik. Bila melihat internal PDIP, koalisi ini tentunya tidak begitu banyak menimbulkan riak. Selain sangat berpusat pada Megawati, partai ini juga telah melalui "seleksi alam" yang keras dengan tersingkirnya banyak faksi sehingga kepengurusan partai sangat homogen. Sedangkan di Golkar terlihat jelas bahwa faksi Agung Laksono paling keras bersuara. Mereka menilai hal itu sebagai peristiwa biasa dan ilegal karena tak melalui mekanisme partai.
Jika persoalannya hanya menyangkut koalisi untuk memenangkan pemilihan kepala daerah, maka tak ada masalah yang krusial. Persoalannya hanyalah pada bagaimana publik mengapresiasi calon yang mereka ajukan. Apalagi sudah terbukti bahwa banyaknya kursi di parlemen tak berjalan paralel dengan dukungan publik terhadap calon kepala eksekutif.
Namun, harus diakui bahwa partai Golkar dan PDIP merupakan dua partai terbesar, paling merata, dan memiliki infrastruktur, jaringan kader, serta dana yang besar. Jadi koalisi yang dibangun itu sangat berpotensi untuk menang. Akan tetapi bila koalisi mereka ditujukan untuk memaksakan suatu sistem yang lebih menguntungkan mereka semata, maka publik berhak bersuara lantang, dan kritis apa yang mereka bangun.
Iklim politik
Diakui atau tidak, dalam iklim politik saat ini banyak di antara kita yang alergi politik bahkan apriori terhadap partai politik dan politisi. Hal itu bisa dimaklumi bahwa sejauh ini, para politisi dan partai politik belum mampu menjawab pertanyaan dan tuntutan rakyat.
Selain itu, Indonesia memiliki problematika terkait dengan sistem ketatanegaraan. Di satu sisi Indonesia menganut sistem presidensial, namun di sisi lain memberi kekuatan pada parlemen. Presiden sebagai pemimpin negara, tidak bisa menjalankan tugas dengan baik karena selalu diganggu kepentingan parlemen. Pada sisi yang lain, parlemen diisi politisi berbagai partai sebagai efek dari berlakunya sistem multipartai. Akibatnya yang dominan terjadi, munculnya banyak negosiasi politik antara presiden dengan parpol di parlemen.
Dengan iklim politik tersebut, rakyat pun mulai jenuh dengan sistem multipartai yang selama ini dianut, sebab tidak satu kekuatan politik yang kuat dan konsisten menghela kepemimpinan nasional. Tidak sedikit, rakyat mulai kehilangan kepercayaan terhadap partai politik. Hal ini ditunjukkan semakin kuatnya tuntutan terhadap peran calon independen, sebagaimana yang terjadi pada Pilkada Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Sebagai contoh, Amerika Serikat mengakomodasi calon independen karena negara itu menganut sistem biparty, Partai Demokrat dan Partai Republik. Jadi wajar bila yang tidak setuju dengan kedua partai itu, diakomodir oleh calon independen. Negara-negara yang menganut multipartai, tidak lagi membutuhkan jalur non partai atau independen karena semua aspirasi mestinya sudah tertampung dalam wadah partai.
Kini tuntutan yang sama pun mulai disuarakan di berbagai daerah lainnya. Pertanyaannya, bisakah membayangkan bila iklim politik negeri ini ke depan dengan sistem multipartai ditambah dengan masuknya calon-calon independen dalam setiap Pilkada dan Pilpres 2009? Amat runyam bukan!
Karena itu, penyederhanaan partai merupakan salah satu agenda reformasi untuk membangun sistem politik yang kokoh. Jika polarisasi distribusi suara yang menyebar ini tak kunjung mendapat jalan untuk disederhanakan, maka demokrasi di Indonesia menjadi jalan di tempat. Bagi sebagian pihak yang tak sabar dan tak mampu berpikir rumit, maka jalan paling mudah adalah melakukan pembatasan yang pada batas tertentu bisa menjadi pengekangan.
Padahal salah satu nikmat demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab dan menjunjung etika moral yang luhur. Artinya, sejumlah syarat dalam demokrasi tak ditujukan untuk menghalangi kebebasan tapi lebih diarahkan pada membangun ketertiban dan sadar akan pembelajaran politik rakyat masa depan.
Dalam konteks ini jika dibolehkannya calon independen adalah bagian dari keniscayaan demokrasi. Mempersulit mendirikan partai adalah intoleran. Menetapkan daerah pemilihan dan menetapkan electoral threshold (ET) di luar batas daya dukung sosial adalah represi. Namun menetapkan ET terlalu rendah juga berarti inefisiensi. Yang harus didorong adalah merger, konfederasi, dan koalisi permanen. Cara ini lebih elegan dan hanya menuntut ditumpulkannya egoisme politisi.
Apa yang menjadi dengan wacana adanya pembatasan parpol, sebenarnya pembatasan bukan dalam arti aturan, akan tetapi dengan cara yang demokratis, yakni melalui ET dengan angka 3 persen, maka parpol yang eksis sekitar lima sampai delapan parpol saja. Jadi kalau konsisten dengan ET, tentunya jumlah partai tidak akan banyak.
Dengan demikian, beberapa partai perlu melakukan koalisi agar terbentuk kekuatan mayoritas yang akan menghela pemerintahan yang kuat. Hal ini sepertinya telah banyak dipraktekan diberbagai negara misalnya, Koalisi Barisan Nasional antara UMNO dengan beberapa partai lainnya. Demikian juga di Jepang, koalisi LDP dengan beberapa partai lainnya terbukti telah mampu menghela pemerintah yang kuat, stabil dan mampu menjamin kepastian hukum dan stabilitas ekonomi.
Secara makro, iklim politik tahun 2009 akan berbeda dengan iklim pemilu tahun 2004. Pada 2009, iklim politik akan lebih hangat, dengan ditandai mulai mengemukanya persaingan politik, baik sesama partai politik lama maupun baru, partai besar dan kecil. Pada 2008 diperkirakan konsentrasi pemerintah akan berkurang, justru karena semua kekuatan politik tengah ancang-ancang menuju Pemilu 2009. Politik 2008 bisa semakin rumit. Konstelasi politik di DPR bisa saja berubah. Gaya kepemimpinan SBY pun amat memengaruhi dinamika politik 2008. Bisa dikatakan bahwa 2008 merupakan tahun penentuan atas sejarah masa depan antara duet SBY-JK.***
Penulis, dosen Kopertis Wilayah IV Jabar & Banten, dpk pada FISIP Unpas Bandung.
Oleh LIA MULIAWATY