Sunday, October 28, 2007

Tradisi Lebaran



TRADISI Lebaran mempunyai akar teologi, jika tradisi itu dimaknai sebagai "sunnah hasanah" atau tradisi yang baik. Nabi mendorong umatnya untuk menciptakan inovasi-inovasi positif dan akan dipahalai inovator tersebut oleh sejumlah orang yang mengikutinya.

Tradisi tersebut tidak ditemukan dalam literatur Islam kontemporer. Istilah itu berawal untuk menyederhanakan teks keagamaan dalam konteks Idul Fitri dan tanpanya tidak ada tradisi yang khas muslim Indonesia itu.

Pengertian tradisi seperti ditulis oleh Muhammad Abed Al Jabiri dalam Al Turats Wal Hadatsah, adalah sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita yang berasal dari masa lalu kita atau orang lain baik masa lalu jauh maupun dekat.

Karena definisi tradisi sebagai "sesuatu yang hadir, dan menyertai kekinian kita" maka mengangkat dan menyibukkan diri dengan tradisi adalah masalah yang absah dan bisa dibenarkan. Sebab, ia merupakan bagian esensial dari kebutuhan manusia itu sendiri untuk mengkaji dirinya dan mengembangkannya.

Manusia mempunyai tradisi yang erat dengan namanya. Penamaan manusia dengan kata al insan yang terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis. Kita dapat memahami, pada dasarnya manusia berpotensi untuk menjalin hubungan harmonis terhadap sesamanya. Bila dosa itu dilakukan terhadap sesama manusia maka hubungan tersebut menjadi terganggu dan tidak harmonis. Namun, manusia akan kembali pada posisi semula (harmonis) pada saat dia menyadari kesalahannya dan berusaha mendekati yang pernah dia lukai hatinya.

Dalam momentum Idul Fitri ada sebuah tradisi Lebaran, yaitu menyelesaikan tugas suci pada bulan Ramadan.

Kita telah memiliki dan menambah modal takwa selama Ramadan untuk perjalanan mendatang dengan lapang dada (membuka pintu maaf yang lebar). Itulah sebabnya, Alquran Surah Al A'raf 199 mengajarkan agar seseorang itu memberikan maaf, mengajak kebaikan, serta berpaling dari sikap bodoh.

Namun, tradisi kita pada Idul Fitri adalah saling meminta maaf lahir batin. Apakah ini sejalan dengan pesan Alquran?

Jawablah adalah ya. Meminta maaf merupakan perbuatan mulia karena ada sebuah pesan Nabi bahwa setiap manusia pada dasarnyapembuat kesalahan. Dan, sebaik-baik pembuat kesalahan adalah meminta maaf baik kepada manusia maupun kepada Allah.

Dengan demikian, ada dua indikator tradisi Lebaran selain membayar zakat dan shalat. Pertama, meminta maaf sebagai indikator kemuliaan. Kedua, memberi maaf sebagai indikator kerendahan hati seseorang.

Silaturahmi menempati urutan terdepan dalam tradisi Lebaran di Indonesia. Banyak ongkos yang harus dibayar dalam silaturahmi Lebaran, yaitu pembayaran transportasi atau yang lain-lain. Pada hal silaturahmi itu dapat dilakukan di luar Idul Fitri. Namun, nuansa silaturahmi Lebaran berbeda dari hari biasa.

Sebagai sebuah tradisi, silaturahmi Lebaran mempunyai akar teologi Surah Muhammad 23: ''Jika kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan dan memutuskan hubungan kekeluargaan."

Pesan Tuhan ini disampaikan kepada mereka yang berkuasa karena mereka dapat dengan mudah menggunakan kekuasaan secara berlebihan dan berpaling dari kerabatnya karena terdorong ketamakan duaniawi selain mempunyai akses untuk memberi bantuan. Kata silah dalam bahasa Arab memiliki arti perhubungan, jika dirangkai dengan kata rahim menjadi silaturahim (bentuk baku dalam bahasa Indonesia adalah silaturahmi) merupakan kata majemuk yang melambangkan suatu tujuan memberikan kebajikan, memberikan pertolongan dan pemeliharaan-pemeliharaan terhadap keluarga. Dengan demikian, silaturahmi itu dibangun untuk memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan.

Sebagai sebuah tradisi Lebaran yang dilakukan umat Islam Indonesia, sesungguhnya dibangun dalam sebuah metodologi. ''Sesuatu yang ditetapkan atas sebuah tradisi nilainya sama dengan ketetapan nash.'' Artinya, pada saat Lebaran jika kita tidak bersilaturahmi kepada orang tua, kerabat, dan sanak saudara, dalam pandangan Alquran termasuk kategori orang yang berhati keras dan membatu. Karena pesan Nabi, yang disebut qothi atau pemutus hubungan silaturahmi adalah orang yang enggan beranjangsih atau bersilaturahmi. (14j)

- Penulis adalah dosen FAI Unissula Semarang.

Tunaikan Zakat Fitri

IBNU Abbas berkata, ''Rasulullah Saw. mewajibkan zakat fitri sebagai pencuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan tutur kata yang keji, dan menjadi makanan bagi orang miskin. Barangsiapa menunaikan sebelum shalat id, maka itulah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya sesudah shalat (id), maka itu suatu sedekah biasa.'' (HR Abu Daud dan Ad-Daraquthni)

Thursday, October 25, 2007

Memetik Stroberi di Ciwidey


Kawasan wisata Ciwidey di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, kini punya daya tarik lain. Tempat itu tidak lagi hanya menyuguhkan panorama yang eksotik, tetapi juga sudah dilengkapi dengan wisata agro.

Memang, beberapa obyek wisata yang terletak di antara Kecamatan Ciwidey dan Rancabali dikenal sebagai primadona pariwisata di Bandung Selatan dengan obyek wisata Kawah Putih Ciwidey, Situ Patengan, maupun Pemandian Air Panas Cimanggu.

"Menurut perhitungan, seorang wisatawan akan segera bosan dalam waktu dua jam di dalam obyek wisata alam yang tanpa aktivitas alias diam. Bahkan, bila tidak ada kegiatan lain yang ditawarkan, rasa bosan bisa datang lebih cepat dari dua jam," papar Kepala Seksi Obyek dan Daya Tarik Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bandung Yoharman Syamsu.

Untuk memberi kesan yang unik bagi wisatawan, di obyek wisata Ciwidey kini dikembangkan agrowisata stroberi, yaitu di Kecamatan Ciwidey, Rancabali, dan Pasirjambu.

Letaknya di sepanjang jalur menuju obyek wisata alam Ciwidey. Harapannya, agrowisata ini mampu penjadi ciri khas yang menguatkan obyek wisata alam sehingga wisatawan yang datang ke Kawah Putih bisa mampir dan merasakan pengalaman yang berbeda.

Sama dengan agrowisata di Kota Batu, Jawa Timur, yang menawarkan agrowisata petik apel langsung, wisatawan di Ciwidey itu juga diperbolehkan memetik langsung stroberi di kebun-kebun milik petani. Mereka bebas mengelilingi kebun yang dipenuhi ratusan tanaman stroberi.

Mereka bisa mengambil buah berdasarkan warna yang merah atau ukuran yang besar. Setelah merasa cukup, buah hasil petikannya diserahkan kepada pihak pengelola wisata alam tersebut untuk ditimbang dan dibayar.

Harganya mencapai Rp 25.000-Rp 35.000 per kilogram. Buah yang telah dibeli itu bisa dibawa untuk oleh-oleh atau camilan di tengah jalan atau bisa langsung diblender untuk dijadikan jus.

Kawasan wisata Ciwidey ini terletak sekitar 25 kilometer arah selatan Kota Bandung. Untuk menuju kawasan wisata agro tersebut, wisatawan bisa mengambil arah menuju Kawah Putih Ciwidey karena lokasinya beberapa kilometer sebelum kawah.

Jalur terdekat menuju Kecamatan Ciwidey, dari Kota Bandung kita mengambil jalan lewat Jalan Raya Kopo melalui Kecamatan Margahayu. Jalur lain yang bisa ditempuh dari Kota Cimahi adalah melalui Kecamatan Leuwigajah. Dua jalur ini akan bertemu di Kecamatan Soreang.


Kalau memilih jalur yang melalui Kecamatan Leuwigajah, jalan yang dilewati memang lebih lapang. Namun, pengguna jalan harus pandai-pandai menghindari lubang menganga di beberapa titik.

Di Soreang, perjalanan akan lebih menyenangkan karena badan jalan lebih lega di samping pemandangannya yang menawan dan menyegarkan. Lahan- lahan terbuka yang belum banyak bangunan di sepanjang jalur itu menyajikan pemandangan asri.

Di Kecamatan Pasirjambu, kebun-kebun stroberi mulai terlihat. Tiap kebun mempunyai ciri khas, baik dari bangunan maupun panorama yang menjadi latar belakang kebun. Wisatawan bisa memilih kebun stroberi yang mereka kunjungi.

Hal yang ditawarkan di semua kebun stroberi umumnya suasana asri yang didukung panorama Gunung Patuha sebagai latar belakang. Lingkungan yang masih terjaga membuat wisatawan akan betah. Udara terasa segar yang tentu jauh dari polusi seperti di kota besar.

Produk olahan

Di setiap kebun juga dijual berbagai produk olahan berbahan dasar stroberi, seperti dodol, sirop, dan selai. Produk olahan ini dibuat agar bisa dijadikan buah tangan karena umurnya lebih lama daripada buah segar.

Produk olahan berupa dodol, sirop, dan selai ini diproduksi oleh satu kelompok petani yang tergabung dalam satu koperasi dengan label "Yuriberri". Dalam sehari, produksi stroberi yang diserap rata-rata hanya 25 kg.

Sedangkan sebagian besar produksi buah stroberi para petani Ciwidey ini, setelah dikemas dalam plastik, dipasarkan ke pasar-pasar swalayan, seperti di Bandung, Bogor, dan Jakarta.

Yoharman menambahkan, yang ditawarkan dalam agrowisata stroberi petik sendiri adalah pengalaman unik yang bisa dirasakan wisatawan. Seorang wisatawan bisa mendapatkan pengalaman berbeda dengan wisatawan lain yang berada di tempat dan waktu yang sama.

Alasannya, pengalaman seseorang mencari buah stroberi yang dinilai paling bagus dan rasa puas menemukan serta memetik sendiri buah dari masing- masing orang tidak sama.

"Ada puluhan kebun stroberi milik petani di sini. Menurut catatan kami, cukup banyak wisatawan yang datang kembali ke tempat wisata ini satu bulan kemudian. Biasanya yang semula datang rombongan kini datang dengan keluarganya, tetapi bisa juga terbalik," papar Yoharman.

Data pihak pariwisata Kabupaten Bandung menunjukkan, 63 persen wisatawan yang datang ke Bandung mengunjungi wisata stroberi itu. Agrowisata stroberi juga semakin dikenal ketimbang alamnya.

Tak ada data resmi menyangkut jumlah pengunjung agrowisata stroberi di Ciwidey karena para pengunjung agrowisata sebagian besar adalah juga pengunjung obyek wisata alam Kawah Putih Ciwidey. Data kasar menyebutkan, pada hari libur rata-rata pengunjung bisa mencapai 35.000 orang, sedangkan pada hari biasa mencapai sekitar 3.000 orang.

Tahun 2006 ini, ujar Yoharman, bisa dikatakan sebagai booming agrowisata stroberi. Buktinya, makin banyak lahan pertanian sayur yang berubah menjadi perkebunan stroberi dan diikuti dengan petaninya, produksi buah stroberi yang meningkat, pengunjung yang kian membeludak, dan ada sejumlah pembangunan fasilitas umum meski belum tuntas seluruhnya.

Yoharman optimistis wisata petik sendiri ini akan bertahan lama dan sulit ditiru daerah lain. Salah satu penjelasannya adalah faktor local genius. Sekitar 40 kebun yang ada di tiga kecamatan ini dikelola sendiri oleh petani sehingga bila ada wisatawan yang datang lebih terasa seperti mengunjungi kebun petani. Pengalaman "kembali ke alam" inilah yang sulit ditiru di daerah cekungan Bandung lainnya.

Rasa khas

Kenapa pilihannya stroberi? Ketua Kelompok Mitra Tani Doddy Abdurrahman, yang memperkenalkan wisata stroberi petik sendiri, mengemukakan, ada beberapa alasan. Misalnya, nama buah itu sudah dikenal secara internasional, cara memakannya pun praktis, dan buah tersebut dikenal mengandung zat yang mampu mengurangi risiko kanker.

Selain itu, daerah Ciwidey yang berbentuk pegunungan memenuhi syarat tumbuh stroberi, seperti ketinggian, suhu, dan kelembaban. Satu hal yang tak kalah pentingnya adalah usaha tersebut didukung sumber daya petani yang berjumlah 137 orang. Jumlah itu merupakan peningkatan pesat dari awal pelaksanaan agrowisata pada tahun 2001, yakni hanya beberapa petani.

Produksi buah stroberi, lanjut Doddy, rata-rata mencapai dua ton hingga lima ton per hari, bergantung pada cuaca. Produksi buah stroberi lebih bagus pada musim kemarau karena lebih terhindar dari kemungkinan daun rontok akibat terkena air hujan. Tanaman stroberi panen setiap dua hari. Artinya, kelangsungan produksi bisa menjamin ketersediaan stroberi untuk diolah maupun untuk agrowisata.

"Ciri khas sekaligus keunggulan stroberi adalah rasanya yang manis bercampur masam. Rasa inilah yang membuat para penggemarnya selalu ketagihan," ujar Doddy.

Semua hal itulah yang membuat dia memutuskan untuk memopulerkan buah stroberi. Sulitnya meniru tempat budidaya stroberi membuat jumlahnya jarang melebihi permintaan sehingga sering kali harganya terjamin.

Rasanya kurang lengkap jika kita berkunjung ke Bandung tidak meluangkan waktu sejenak untuk mengunjungi wisata stroberi tersebut. Cobalah cari dan petik sendiri buah itu, tentunya akan ada pengalaman yang tak terlupakan....

Thursday, October 18, 2007

Memperkokoh Fondasi Ibadah


Oleh K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR

Banyak orang yang seringkali telah merasa sukses manakala setiap keinginan dan cita-citanya tercapai. Namun ketahuilah, orang yang merasa sukses tanpa ibadah adalah ibarat bangunan tanpa fondasi, bangunannya akan goyah dan akhirnya roboh. Sesungguhnya, dengan ibadah yang baik insya Allah akhlak menjadi lebih terjaga karena ada yang menuntun, dengan ibadah yang baik insya Allah qolbu menjadi tentram, pikiran menjadi jernih, berprestasi lebih mudah, ide dan gagasan akan lebih brilyan sebab senantiasa ditolong oleh Allah SWT.

Dengan ibadah yang baik doa-doa kita insya Allah akan dikabul, ketika doa dikabul semua masalah akan ada jalan keluar. Kita memang sering menghadapi banyak masalah dalam hidup ini, tapi tidak ada masalah kalau Allah menuntun kita. Dengan ibadah yang tangguh kita akan terpelihara. Dan salah satu bentuknya dapat kita wujudkan dengan mendirikan salat.

Dengan salat, kita akan terpelihara dari perbuatan zalim terhadap orang lain, dengan salat yang tangguh kita akan memiliki kestabilan emosi. Bila kita resapi, salat, zikir, shadaqah, ibadah haji, dan ibadah-ibadah lain sebenarnya merupakan perangkat untuk memperkokoh fondasi kesuksesan. Orang-orang yang jauh dari ibadah akan kehilangan orientasi dalam mengarungi hidup ini, pekerjaan yang dia lakukan hanya mencari materi tanpa didasari niat yang lurus.

Mau kemana Saudaraku? Hidup di dunia ini hanya menumpang dan sementara, tanpa ibadah kita tidak akan mendapatkan amal-amal dari kesibukan yang kita lakukan. Tanpa ibadah kita tidak akan merasakan ketentraman dalam hidup ini, tanpa ibadah tidak ada pelindung dalam kehidupan yaitu Allah SWT.

Orang yang ibadahnya tangguh dialah yang akan benar-benar akan mengawali kesuksesannya dengan baik, hanya sekadar mimpi kalau negeri kita ingin bangkit tapi kita sebagai rakyat dan para pemimpinnya menganggap remeh ibadah, hanya sekadar mimpi jika kita menginginkan aparat yang baik kalau para pemimpinnya tidak beribadah, hanya sekadar mimpi jika kita menginginkan tentara yang baik kalau kepada Allah tidak takut, tentara yang hanya bergantung dengan peluru untuk meluluh-lantakan musuhnya. Ketika sekali waktu kehabisan peluru saat menghadapi musuh, maka dijamin dia akan menghadapi kesulitan. Akan tetapi andai kata dia juga memiliki kekuatan doa, insya Allah dia dapat meluluhkan hati musuh sehingga siapa tahu musuhnya malah menjadi menjadi saleh.

Di zaman Rasullulah saw., berapa banyak musuh yang terkulai hatinya. Walaupun tubuhnya gagah, ternyata mereka tidak kalah dengan senjata tetapi justru dengan doa sebagai senjata. Kalau para pengambil keputusan tidak dibimbing oleh Allah karena tidak menjalan ibadahnya, apa yang bisa dilakukan oleh manusia seperti kita? Bukankah Allah Yang Maha Menguasai dan Penggenggam Segala Kejadian?

Oleh karena itu Saudaraku, marilah siapa pun yang ingin meraih kesuksesan, belajarlah lebih banyak lagi tentang agama agar kita tahu bagaimana cara beribadah dengan benar. Ibadah itu harus dilandasi niat yang lurus dan benar pula cara mencari ilmunya untuk kemudian mulai mempraktikan secara istiqamah. Ajaklah istri dan anak untuk beribadah dengan benar. Insya Allah suatu saat nanti akan bangkit kesuksesan yang kita harapkan, karena tidak ada yang menolong kita selain Allah, Hasbunaallahu Wani'mal wakiilu ni'mal maulaa wani'mannashiir (Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung dan Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong)

Saudaraku, ibadah adalah fondasi. Tanpa ibadah, hidup bagaikan bangunan tanpa fondasi, pasti akan roboh. Tanpa ibadah yang tanggguh, sukses dunia akhirat hanyalah mimpi. Beribadah dengan benar artinya membangun fondasi yang semakin memperjelas visi hidup ini mau dibawa kemana. Karena dengan beribadah maka akan semakin memperjelas bahwa Allah adalah Khalik (Yang Menciptakan), sedangkan kita adalah mahluk (yang diciptakan). Allah yang disembah, sedangkan kita yang menyembah-Nya. Allah yang memerintah (berkuasa), sedangkan kita yang diperintah-Nya.

Allah menciptakan dunia kemudian menciptakan makhluk. Makhluk diciptakan untuk mengabdi kepada Allah, sedangkan dunia berikut isinya diciptakan hanyalah sebagai sarana agar kita bisa berkarya dan berbekal pulang untuk menghadap Allah.

Artinya dunia berikut isinya diciptakan hanyalah untuk melayani kita supaya kita bisa mengabdikan diri kepada Allah. Orang yang tidak mengerti bahwa dunia ini hanyalah sebagai pelayan baginya, maka posisinya akan menjadi terbalik, justru dia yang akan diperbudak oleh dunia yaitu harta, pangkat, gelar, jabatan, dan syahwat. Bayangkan, pelayannya menjadi majikannya. Dia dihinakan oleh hambanya sendiri. Itulah yang menyebabkan kerusakan dan keterpurukan manusia.

Kemudian Allah mengutus Nabi Muhammad saw. agar kita bisa meneladani bagaimana cara beribadah dengan benar. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin sukses, belajarlah lebih banyak tentang bagaimana beribadah dengan benar. Cari ilmunya, segera praktikkan, dan istiqomahkan. Kemudian ajaklah istri dan anak beribadah dengan tangguh karena tidak akan ada yang menolong selain Allah.

Salat, dzikir, saum, dan ibadah lainnya itu adalah perangkat yang membuat fondasi kesuksesan. Tetapi ibadah tidak hanya itu saja, melainkan segala aktivitas yang dijalankan dengan niat yang lurus karena Allah dan ikhtiar di jalan yang disukai Allah itu adalah ibadah.

Misalnya dalam bekerja, orang-orang yang bekerjanya tidak diniatkan untuk beribadah tidak akan tahu orientasi hidup ini akan dibawa kemana, sehingga kesibukannya hanya mencari uang. Karenanya kalau bekerja, niatkan untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan cara yang disukai Allah. Tugas kita adalah bagaimana kita sibuk bekerja sehingga menjadi amal kebajikan, bukan karena harta, tetapi karena kerja adalah ladang amal. Harta sudah dibagikan sebelum kita tiba di dunia ini.

Ciri orang yang beribadah dengan benar di antaranya adalah akhlaknya akan lebih terjaga, perbuatannya akan terpelihara dari kezaliman terhadap orang lain, dan emosinya akan lebih stabil. Kemudian ciri lainnya adalah qolbunya akan tentram, pikirannya akan jernih, prestasinya mudah diraih, ide dan gagasannya akan ditolong oleh Allah.

Misalnya, jika sedang rapat datang waktu salat, maka utamakanlah salat karena yang paling penting dari rapat itu justru bagaimana agar bisa ditolong oleh Allah. Kalau kita melalaikan salat, maka keputusan yang diambil belum tentu tepat karena benar menurut kita belum tentu benar menurut Allah.

Tetapi dengan mengutamakan ibadah, mudah-mudahan Allah menuntun kita menemukan jalan keluar walaupun berhadapan dengan banyak masalah. Hanya Allah-lah satu-satunya yang menguasai langit dan bumi, kita semua dalam genggaman Allah.

Terlalu sombong bagi kita hidup tidak mengenal ibadah. Ciri kesombongan dan ketakaburan seseorang dilihat dari keengganannya beribadah. Maka, selamat berjuang saudaraku. Jadilah ahli ibadah yang istiqamah, berkesinambungan, dan ikhlas. Wallahu a'lam ***

Thursday, October 11, 2007

Assalammu'alaikum Wr. Wb.


Dengan segala kerendahan hati ini... saya mengucapkan
mohon ma'af lahir dan batin atas segala kesalahan dan
kehilafan yang pernah saya buat....
Semoga diakhir Ramadhan nanti kita memegang predikat taqwa
Dan kita dipertemukan kembali dengan bulan Ramadhan tahun depan amien....
"Taqabballahu minna wa minkum
minal 'aidin wal fa idzin"

SELAMAT HARI RAYA IEDUL FITRI 1428 H

Menyambut Fajar Kemenangan

MAHASUCI Allah Yang Mahaagung. Alhamdulillah, dengan rahmat dan karunia-Nya sampailah kita di saat-saat terakhir bulan Ramadan tahun ini. Sesungguhnya dengan berakhirnya bulan Ramadan yang mulia ini, kita harus merasa sangat sedih karena siapa tahu kita tidak akan berjumpa lagi dengan Ramadan yang akan datang. Padahal, peluang kita untuk bisa mulia dengan menggunakan sarana bulan ini sungguh luar biasa besarnya.

Kita tidak pernah tahu, apakah di tahun depan kita masih bisa bertemu lagi dengan Ramadan atau tidak. Bukankah tidak sedikit saudara, sahabat, maupun kaum kerabat yang tahun lalu masih berjemaah salat Tarawih dengan kita, namun kini sudah tiada. Tidak sedikit handai tolan juga teman sepermainan yang tahun lalu masih khusyuk bertadarus bersama, mengumandangkan takbir bersama, atau salat Id berjemaah, kini telah dipanggil pulang oleh pemiliknya. Allah, Dzat Yang Maha Menguasai setiap gerak-gerik kita.

Oleh karena itu, di pengujung bulan Ramadan ini sudah saatnya kita membulatkan tekad untuk senantiasa menata hidup kita di bulan-bulan berikutnya selepas Ramadan dengan amalan yang lebih baik. Kita memohon kepada Allah agar setelah menjalani ibadah Ramadan ini kita kembali kepada fitrah (kesucian) sebagaimana sucinya bayi yang baru dilahirkan. Dan semoga kita pun tetap istikamah dalam menapaki jalan-Nya.

Sepatutnya, perjalanan ibadah di bulan Ramadan ini membuat kita sadar bahwa kehidupan di dunia hanyalah sekadar mampir. Dunia bukanlah tujuan kita. Sekaya apa pun rezeki yang kita makan akan menjadi kotoran, apa yang kita pakai akan menjadi usang, dan selebihnya adalah harta yang kita "akui" sebagai milik kita.

Orang yang betul-betul menikmati Ramadan melihat dunia ini menjadi kecil. Kita berkarya sekuat-kuatnya, kita melakukan yang terbaik di dunia ini, tetapi bukan untuk tujuan kita, ini adalah ladang amal kita. Dengan Ramadan, hati semestinya menjadi semakin akrab dengan Allah. Kalau hati kita makin akrab dengan Allah, makin ikhlas, hidup kita pun akan menjadi tenteram. Sesungguhnya dengan zikir kepada Allah akan menenteramkan hati kita. Kita akan menjadi orang yang sabar, tidak gentar, karena kita yakin bahwa semua masalah yang menimpa kita telah diukur oleh Allah. Dengan demikian kita akan menjadi pribadi ikhlas, tidak perlu kita mencari pujian manusia karena yang membagikan rezeki adalah Allah. Yang mengangkat derajat kita adalah Allah.

Pada akhir Ramadan, sebaik-baik malam adalah malam yang kita gunakan untuk bersyukur kepada Allah agar diberi kemampuan untuk berjumpa dengan Ramadan yang akan datang. Mari kita buka lembaran baru di bulan Syawal yang akan kita jelang. Kita buka dengan lembaran-lembaran putih, suci, dan bersih. Lembaran-lembaran hidup yang siap diisi dengan amaliah ibadah demi meraih rida-Nya.

Kita tutup Ramadan ini dengan memenuhi kewajiban kita untuk menyantuni fakir miskin. Tunaikanlah zakat dengan ikhlas, jangan berharap apa pun kecuali rida Allah. Sedekah sudah kita kumpulkan jauh sebelumnya, jangan sampai dikirim sesudah Lebaran. Nantinya mereka yang dikirimi tidak sempat menikmatinya. Kalau dibagi-bagikan saat Lebaran, yang ditakutkan akan menjadi pengaruh negatif, menjadi riya misalnya. Lebih baik, bungkus dengan rapi, dan kirimkan jauh sebelum Lebaran. Sehingga pada waktu Lebaran nanti mereka bisa berpakaian dengan baik.

Penuhi malam kemenangan ini dengan untaian gema takbir. Biarkan lisan kita basah menyebut-nyebut kebesaran-Nya, biarkan qalbu kita merasakan dahsyatnya keagungan Allah. Jangan kotori dengan hal-hal yang dapat merusak, atau pikiran yang bisa menimbulkan kemudaratan.

Usai salat Idulfitri nanti, bersegeralah menemui kedua orang tua kita. Bersimpuhlah kita, memohon maaf dan keridaan dari ibu dan ayah kita. Coba hitung! Betapa selama ini kita telah menyusahkan mereka, menyakiti mereka. Alangkah durhaka dan betapa tidak bersyukurnya kita jika sampai menyia-nyiakan mereka. Mohonlah rida pada orang tua karena rida Allah terletak pada rida kedua orang tua. Dan bila kedua orang tua kita telah tiada, doakan mereka. Mohonkan ampunan kepada Allah, semoga Allah memberi mereka nikmat kubur.

Jika kita merasa pernah menzalimi seseorang, sengaja ataupun tidak, temui orang itu dan mohon keikhlasannya untuk memaafkan kesalahan kita. Tekadkan pada diri kita untuk tidak akan lagi berbuat zalim, sekecil apa pun dan kepada siapa pun. Jangan sia-siakan upaya kita untuk menyucikan diri dengan mengotorinya lagi dengan dosa.

Semoga, kita keluar dari kepompong Ramadan ini sebagaimana layaknya ulat yang baru berubah menjadi kupu-kupu yang cantik dan indah. Semoga kita telah bermetamorfosis dari lumuran dosa menjadi pribadi yang fitri (suci) kembali. Semoga Allah menyingkapkan tabir di hati kita sehingga kegelapan di hati ini terganti dengan kebeningan qalbu yang bercahaya. Dan hari-hari kita yang tersisa menjadi hari-hari yang semakin akrab dengan kehangatan kasih-Nya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup dekat dengan Allah. Selamat menyongsong fajar 1 Syawal, semoga kita benar-benar dapat meraih derajat takwa. Taqobalallaahu minna wa minkum, shiyaamana wa shiyaamakum. Wallahu a'lam

Oleh K.H. ABDULLAH GYMNASTIAR

Apa Kabar Idulfitri?


SEPULUH hari terakhir seharusnya adalah saat menemukan pengalaman rohani (lailatulqadar) yang digambarkan penuh berkah "seribu bulan", situasi yang dipenuhi pasukan malaikat yang datang membawa kedamaian bagi manusia takwa. Namun, seperti lazimnya tahun-tahun lalu, malam akhir Ramadan adalah malam-malam sepi, jemaah masjid semakin "maju" (tinggal saf terdepan). Simpulnya, saya lebih sibuk memikirkan mudik dan baju baru daripada lailatulqadar. Astagfirullah....

Sepuluh hari terakhir Ramadan memang benar-benar terasa berat. Terutama membayangkan macetnya jalanan mudik dan harga-harga yang melambung tinggi. Kerap muncul pikiran seperti ini, "Andai saja, Idulfitri tak harus mudik dan tanpa ada perayaan tentulah situasinya tidak akan seperti ini." Serentak muncullah kekesalan terhadap Idulfitri, lalu di mana semua sukacita penyambutan Ramadan yang pernah saya lakukan? Kalau dulu saya pernah menyambutnya dengan sukacita, seharusnya sekarang adalah saat berdukacita karena berpisah dengan Ramadan?

Imsak dan madrasah takwa

Ramadan atau imsak adalah saat "pengendalian hawa nafsu". Ramadan adalah madrasah takwa, suatu sekolah yang mengajari pengendalian diri. Namun -- kalau kita hendak jujur -- kita telah mengubah Ramadan menjadi bulan penuh kemanjaan. Bulan yang menyulap kita menjadi merasa berhak dimaklumi oleh banyak pihak lain, bulan yang membuat kita menoleransi diri dalam kemalasan. Padahal, "menjadi takwa" adalah menjadi subjek yang proaktif memberikan pembebasan, kebahagiaan, dan sukacita pada banyak pihak. Lalu, kualitas takwa seperti apakah yang akan kita raih bila selama berpuasa kita justru melatih kemanjaan, bukan melatih menjadi subjek anfa'uhum linnas (yang memberi manfaat bagi pihak lain).

Ya, Ramadan diam-diam telah diubah oleh kita sebagai bulan penuh dengan hawa nafsu. Terutama pada hari-hari akhir ini. Lihatlah, betapa panjang antrean orang yang telah berlelah payah menahan makan dan minum lalu merasa berhak mendapatkan baju baru. Semua toko memproduksi "mesih hasrat", mesin yang membuat hasrat kita untuk memiliki semakin meluap-luap, melalui iklan atau tulisan obral.

Akan tetapi, betapa bebalnya saya. Di tengah kemanjaan itu, saya masih juga merasa berhak mendapat rahmah, magfirah, dan keterbebasan dari siksa panas neraka. Padahal, seorang sufi pernah bilang satu rumus rohani, "Allah akan memberikan apa yang kamu berikan pada pihak lain." Rumus rohani ini adalah rumus kerahiman air, yang rela turun ke dalam tanah dan tampak dari sisi luar demi menghidupi tanaman. Dalam konteks Ramadan, Allah akan memberikan rahmah, bila kita menyebarkan rahmah pada pihak lain, Allah akan memberikan magfirah-Nya bila kita aktif memaafkan dan memohon maaf pada semua pihak dan Allah akan memberikan pembebasan siksa neraka, bila kita membebaskan sanak saudara fakir miskin kita dari kesengsaraan duniawi.

Pada akhir Ramadan, pada saat semuanya akan dipungkas oleh Idulfitri, saya merasakan kepedihan yang luar biasa. Saya telah melepas kesempatan belajar takwa dari Ramadan, padahal tak ada yang bisa memastikan bisa bertemu kembali dengan Ramadan. Duh, Rabb, kenapa Ramadan ini tidak juga mengubah hati yang dapat mendorong pada ketakwaan, pada pembebasan fakir miskin?

Baju baru, mudik baru

Keinginan mendapat lailatulqadar membuat kita pantas berduka, apalagi setelah menyadari betapa Ramadan tak juga mengubah ulat diri ini menjadi kupu-kupu takwa. Dan hasrat bertemu lailatulqadar ternyata bertabrakan juga dengan hasrat mudik.

Mudik tak sekadar berlebaran di kampung halaman, demikian ungkap banyak ahli, mudik adalah peristiwa budaya yang sarat spiritualitas. Ya, semuanya itu benar. Akan tetapi yang lebih pasti, mudik juga memberikan ketegangan yang menyita waktu. Ditambah mudik, Idulfitri tak lagi peristiwa penuh kemenangan; Idulfitri tak sekadar bersalaman dengan penuh permohonan maaf. Idulfitri telah menjelma menjadi sejumlah biaya untuk transportasi dan membeli baju baru sebagai bekal kontes di hadapan sanak saudara.

Idulfitri adalah juga baju Baru. Selain ketupat, memberikan zakat fitrah pada fakir miskin (apa pun agamanya). Tindak saling memaafkan, angpaw, baju baru adalah penanda utama keriangan di Idulfitri. Tanpa baju baru, Idulfitri pun tak absah. Maka, kenangkanlah keringat kita yang menetes beberapa pada hari yang lalu di pasar atau di mal (yang dengan murah hati memberi diskon besar) untuk mendapat baju baru.

Dari mana datangnya tradisi baju baru? Memang begitulah sunnahnya, kita harus mengenakan baju bagus pada saat hari kemenangan, Idulfitri. Hanya, yang disunnahkan bukanlah baju baru, melainkan di beberapa pedesaan, anak-anak SD mengenakan baju bukan baju baru. Kalau bukan dari sunnah, berarti ada sumber lain? Ya, sumbernya adalah dari tradisi orang tua yang sedang mendidik anaknya, "Nak, kalau kau khatam puasa akan Bapak berikan baju baru yang kamu suka!" Lalu sang anak berpuasa dengan tangguh sambil membayangkan baju baru menempel di badannya.

Kemungkinan kedua adalah dari tradisi masyarakat miskin. Yaitu mereka yang hanya memiliki satu dua pasang baju yang dikenakan dalam segala momen, tidur memakai baju itu, bermain mengenakan baju yang sama, bersekolah pun masih baju yang itu-itu juga. Tentu saja, baju yang itu-itu saja itu sudah tak jelas apa warna dan baunya, maka pada setiap tahunnya para orang tua membelikan baju baru buat anaknya yang diberikan sekaligus sebagai hadiah kemenangan Idulfitri.

Maka saksikanlah, di beberapa daerah miskin, anak-anak seumuran SD berlebaran dengan mengenakan seragam merah putih, lengkap dengan topinya atau mengenakan baju Pramuka, lengkap dengan kacu, peluit, dan baret cokelat -- tentu saja minus tongkat Pramuka. Anak-anak itu begitu bangga mengenakan baju sekolah, di mata mereka ada bayangan keindahan bersekolah dengan baju yang tak sobek-sobek lagi. Di pinggir mereka, orang tua miskin meringis karena miris hanya bisa memberikan baju lebaran yang all in one.

Mari kita bandingkan dengan diri kita yang memiliki baju berlemari-lemari, itu pun masih juga merasa perlu menambahi baju baru pada Lebaran ini. Atas fenomena ini, kita dapat merenung kembali ihwal puasa kita. Puasa Ramadan adalah madrasah takwa, yang mengajari kita bersolidaritas pada orang lain -- yang kekurangan -- dan membebaskan mereka.

Salah satu stimulus dari Tuhan adalah sejumlah pahala dan ibadah tambahan. Misalnya memberi makan berbuka bagi fakir miskin akan mendapat pahala satu orang berpuasa atau berpahala 20 tahun iktikaf. Belum lagi ibadah zakat fitrah yang berfungsi sebagai penyempurna bagi puasa sebulan penuh. Semuanya berfungsi untuk memancing solidaritas abadi, seumur hidup. Jadi zakat fitrah itu, kira-kira, bisa disamakan dengan peletakan batu pertama dari bangunan ukhuwah islamiyah.

Bila kita masih saja memikirkan diri sendiri, jangan-jangan kita tidak lulus dari madrasah takwa bulan Ramadan? Bila kita masih marah karena lupa membeli baju baru, jangan-jangan tadarus kita tak sampai pada Q.S. Al-A'raf ayat 26 tentang baju takwa.

"Baju takwa" (libasut taqwa) ini, menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, adalah perangai yang baik, dengan "Makrifat akan menjadi modal utamanya, pengendalian diri sebagai ciri aktivitasnya, kasih asas pergaulannya, kerinduan kepada Ilahi tunggangannya, zikir pelipur hatinya, keprihatinan adalah temannya, ilmu senjatanya, sabar busananya, kesadaran akan kelemahan di hadapan Allah kebanggaannya, zuhud (tidak terpukau oleh kemegahan duniawi) sebagai perisainya, kepercayaan diri menjadi harta simpanannya dan kekuatannya, kebenaran sebagai andalannya...." Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik (QS 7:26).

Meraih keikhlasan

Semua keluhan ini adalah bukti betapa saya tak bisa ikhlas menerima perintah Ramadan. Kalaulah saya ikhlas, pastilah tak ada alasan untuk memanjakan diri; kalau ada keikhlasan di hati ini, tak ada ruang bagi keluhan menyediakan biaya mudik atau baju baru. Keikhlasan itu, konon, seperti air suci yang meluap-luap yang menyingkirkan seluruh luka hati (rasa kesal atau dendam, rasa tidak puas atau ingin dipuji).

Amal yang dilakukan dengan ikhlas -- menurut para sufi -- akan memiliki kekuatan untuk terbang ke langit menghadap hairat Allah untuk Dia nilai. Sebaliknya, amal yang tidak ikhlas, akan tetap tinggal di bumi (hanya dinilai atau dihargai manusia). Lalu amal yang ikhlas itu akan dapat menurunkan balasan (jaza') dari Allah. Mumpung ada satu dua hari lagi, saya mau belajar ikhlas.

Sebelum Ramadan berakhir, selagi masih ada sisa satu dua hari, mudah-mudahan kita dapat melengkapi diri dengan keikhlasan. Mudah-mudahan masih tersedia lailatulqadar yang membuat kita mendapat predikat Aidin (orang yang kembali pada fitrahnya) dan Faizin (pemenang yang telah mengendalikan hawa nafsunya menjadi takwa).

Selamat Idulfitri, selamat menuai takwa! ***
Oleh BAMBANG QOMARUZZAMAN
Penulis, dosen pada Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung

Tuesday, October 09, 2007

Sepercik Rindu untuk Papa


Lebaran sudah di depan mata. Terbayang sudah keindahannya. Sholat Ied berjamaah di lapangan dan berkumpul bersama seluruh keluarga adalah moment yang sangat dinantikan.

Kemarin saya pergi ke sebuah mall di Samarinda. Tak seperti hari – hari biasanya. Hari menjelang Lebaran memang selalu penuh sesak dengan manusia. Stand – stand baju, sepatu, sampai stand kue kering berlomba menawarkan ragam diskon untuk menarik pembeli. Mungkin karena terbiasa tinggal di kota kecil yang lowong seperti Sengata, rasanya saya tak betah berlama – lama dalam suasana sesaknya.

Ketika saya terpaksa harus mengantri di kasir, tak sengaja mata saya terpaku pada seorang bapak yang di kelilingi tiga orang anaknya. Di stand sepatu persis di seberang meja kasir tak jauh dari tempat saya berdiri. Tampak si anak merengek – rengek ingin di belikan sesuatu. Seorang menarik bajunya, seorang menarik – narik tangannya, bahkan anaknya yang paling kecil sudah menangis bahkan sampai duduk di lantai. Suara tangisnya yang nyaring, membuat beberapa pasang mata melotot tidak suka. Sadar akan hal itu, segera di rengkuhnya si anak yang menangis di lantai lalu di dekapnya di gendongan. Si bapak nampak sabar menjelaskan kepada anak – anaknya, agar dapat lebih tenang. Mungkin isi kantongnya tak mampu membayar semua permintaan sang anak.

Tiba – tiba saya teringat kenangan masa kanak – kanak dulu. Ketika, saya dan adik – adik yang selalu egois menuntut sesuatu di setiap Lebaran. Bahkan kadang di sertai dengan ancaman dan merajuk tak mau ikut lebaran kalau sampai keinginan beli baju dan sepatu baru tidak di turuti. Astaghfirullah…, ada rasa bersalah yang sangat menyeruak kalbu …

Saya mencoba merasakan apa yang berkecamuk dalam kepala dan hati si Bapak itu. Pastilah ada keinginan untuk meluluskan keinginan sang anak. Membelikan apa yang mereka minta, walaupun harus menepiskan keinginannya sendiri.

Pastilah, perasaan itu pula yang di rasakan oleh papa. Beliau rela memakai baju koko yang itu – itu saja bila lebaran tiba. Hanya agar keinginan kami terbayarkan. Menenggelamkan keinginan hatinya hanya demi melihat senyum – senyum lebar kami saat memakai baju dan sepatu baru di hari Lebaran.

Lamunan saya terhenti ketika tiba giliran untuk membayar di kasir. Saya lalu membereskan barang yang saya beli lalu bergegas meninggalkan mall yang penuh sesak tersebut.

Sepanjang perjalanan pulang, rekaman kejadian di mall tadi kembali berputar – putar di kepala. Membuat kerinduan pada papa kembali hadir dalam hati.. Dari beliaulah kami belajar, bagaimana cara mengelola diri dalam Ramadhan. Beliaulah yang membuka mata dan hati kami dengan kunci kesederhanaan. Sayang, tak lama moment Ramadhan dan Lebaran yang kami lalui bersama. Beliau berpulang di saat kami menjelang dewasa dan mulai mengerti apa arti hari kemenangan sesungguhnya

Sekuntum doa saya bacakan untuk papa. Ya Allah, ampunilah seluruh dosa – dosa papa. Gantikanlah setiap tetes keringatnya dalam mencari rezeki untuk kami dengan butir – butir pahalaMu. Lapangkanlah kuburnya ya Rabb. Sayangilah papa, sebagaimana beliau selama ini menyayangi kami anak – anaknya. Rasa rindu yang membuncah membuat butiran airmata deras mengalir di pipi.

Lebaran sebentar lagi. Itu artinya pertemuan dengan Ramadhan penuh berkah tinggal dalam hitungan hari. Tak ada lagi tarawih bersama, tak ada lagi serunya makan sahur dan tak ada lagi nikmatnya berbuka puasa bersama.

Ya Rabb, Semoga sepercik rindu saya pada papa, sama seperti kerinduan hati untuk dapat kembali lagi bertemu dengan RamadhanMu yang indah dan bersiap diri menyambut hari Kemenangan …

I really miss u, papa …
Ujung Musholla, Oct’07 Oleh Yunni Touresia

Di Balik Aspek Spiritual Puasa


Pada hakikatnya, yang mengetahui rahasia puasa atau apa rahasia di balik puasa hanyalah Allah SWT. Namun, manusia yang dibekali akal dan budi, perlu mencari sesuatu di balik rahasia puasa sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Spiritual bukan barang baru, berasal dari kata spiritius (Latin), sama dengan roh (Arab), pneuma (Yunani), atma (Sanskerta), dan soul (Inggris). Spiritual dibutuhkan manusia karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk rohani yang berjasmani.
Ada berbagai kebutuhan spiritual manusia, di antaranya, pertama, kebutuhan akan tujuan hidup dalam membangun hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang dengan Tuhannya dan dengan sesama manusia serta alam sekitar. Islam mengajarkan bagaimana makna dan tujuan hidup manusia di dunia serta pemahaman diri (insight) bahwa diri ini adalah hamba-Nya (makhluk) dan Allah SWT adalah Khalik (Pencipta). Ketenangan jiwa akan diperoleh dengan berpegang teguh kepada tali Allah.
Pada bulan Ramadan, kita diperintahkan menjalankan ibadah puasa. Pada hakikatnya ibadah puasa bersifat rahasia, karena yang tahu hanya dirinya dan Allah SWT. Oleh karena itu, ibadah puasa merupakan upaya membangun hubungan vertikal dengan Allah SWT. Selain itu, malam harinya kita menjalankan salat Tarawih bersama di masjid, selain ibadah juga menjadi ajang silaturahmi dengan orang sekeliling. Kemudian membayar zakat dan saling memaafkan saat Idulfitri. Semua ini merupakan upaya membangun hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Kedua, kebutuhan akan kepercayaan dasar, membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah. Pada waktu bepuasa segala yang dilakukan merupakan ibadah, bahkan tidurnya orang berpuasa dikatakan ibadah. Diharapkan ini dapat membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini tidak lain hanya untuk ibadah kepada Allah SWT. Firman Allah dalam Surah Al-Anaam ayat 162 dan Ali Imran ayat 102 menyatakan, "Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” ( Q.S. 6:162 ). Karena hidup ini ibadah, manusia tidak perlu risau manakala suatu saat mengalami kesusahan, kesedihan, atau rasa bersalah. Semua itu merupakan cobaan keimanan, sementara kalau diberi kenikmatan hendaknya manusia mensyukurinya. Kebutuhan lain yaitu rasa aman, terjamin, dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi orang Islam, terdapat kepercayaan terhadap masa depan dan hari kemudian.
Ketiga, kebutuhan pengisian keimanan yaitu dengan teratur mengadakan hubungan dengan Allah SWT. Hal ini bertujuan agar kekuatan iman dan takwa senantiasa tidak melemah. Selama satu bulan ramadan, kita dilatih di kawah "candradimuka" sehingga seyogianya kekuatan iman dan takwa dari waktu ke waktu makin tinggi, yang akhirnya akan bermanifestasi dalam kehidupan nyata.
Tujuan berpuasa adalah untuk meningkatkan takwa dan inti perintah puasa adalah pengendalian dorongan dan emosi. Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mampu mengendalikan dorongan dan emosinya. Semakin dewasa semakin mampu mengendalikan dorongan dan emosi terhadap berbagai stimulus, baik yang datang dari dalam maupun dari luar diri.
Nabi Muhammad saw. telah bersabda, "Sesungguhnya puasa itu bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi puasa itu dapat menjauhkan kamu dari perbuatan keji dan mungkar." Pada hadis yang lain, beliau bersabda, "Sesungguhnya peperangan terbesar (di muka bumi ini adalah peperangan melawan hawa nafsu diri sendiri.”
Bila hasil latihan pengendalian diri diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, banyak penyakit, baik fisik maupun psikis, dapat dicegah. Misalnya sindroma metabolik (overweight, diabetes, hipertensi, hiperkolesterol, dan sebagainya) yang menjadi faktor risiko serangan jantung koroner, stroke, atau kematian mendadak. Mereka yang tidak mampu mengendalikan dorongan dan emosinya cenderung akan mengalami gangguan berupa kecemasan, fobia, obsesi-kompulsi, depresi, dan agresivitas atau impulsivitas pada gangguan kepribadian.
Tidak mampu mengendalikan dorongan seksual akan memicu perilaku seksual berisiko, pergaulan bebas, dugem atau penjaja seks komersial sampai pada perkosaan. Mereka yang tidak mampu mengendalikan dorongan mengejar materi akan menjadi tamak dan loba, tidak mampu lagi membedakan mana yang halal dan mana yang haram, termasuk korupsi atau merampas hak orang lain. Mereka yang tidak mampu mengendalikan diri untuk mendapat jabatan akan memperturutkan ambisi pribadinya dan menghalalkan segala cara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa puasa dapat mencegah penyakit, baik fisik maupun mental emosional, seks bebas, korupsi, dan ambisi jabatan dengan menghalalkan segala cara. Hanya Allah Yang Mahatahu. ***
TEDDY HIDAYAT, Dr. Sp.K.J. (K)

Penulis, dokter spesialis jiwa.

mencapai puncak Everest


5 tahun lalu tepatnya tanggal 26 April 1997, tim ekspedisi everest Indonesia berhasil menjadikan Indonesia menjadi Negara pertama dari kawasan tropis, sekaligus negara pertama dari Asia Tenggara yang dapat menginjakkan kakinya di langit dunia, Puncak Gunung Everest, dipegunungan Himalaya (8.848 dpl). Dengan semangat juang yang tinggi, walaupun saat itu hari sudah menjelang petang dan angin bertiup sangat kencang dan udara yang sangat dingin pun tidak terelakan, tetes-tetes air segera berubah menjadi gumpalan es yang membeku. Dan di langitpun terlihat awan hitam bergumpal dipermukaan gunung menandakan akan adanya badai yang segera tiba. Udara yang sangat tipis tetap tidak meruntuhkan jiwa kepahlawanan yang tertanam untuk dapat mengibarkan sang saka merah putih. Dan sang merah putih pun berkibar dengan perkasa, hanya rasa syukur kepada Tuhan YME yang dapat terungkap pada saat itu. Dan itu adalah sebagian kenangan yang tidak akan terlupa, kenangan masa lalu yang akan terus tertanam dalam jiwa mereka yang tergabung dalam Tim Everest Indonesia. "Saya tiba-tiba pingsan ditumpukan salju, mata saya gelap, padahal tripod tempat mengibarkan bendera merah putih tinggal beberapa meter lagi," ujar Lettu Misirin. Disaat yang bersamaan Sertu Asmujiono dengan nafas yang tersengal-sengal berlari-lari melewatinya dan bekibarlah sang saka Merah Putih di Puncak Everest.
Inilah sekelumit cerita yang diungkapkan dua dari tiga pendaki yang mencapai puncak Everest, Asmujiono, Misirin Mereka adalah bagian dari 16 pendaki Indonesia yang mencapai puncak
KEBERHASILAN tim ekspedisi Everest Indonesia tahun 1997 menjadikan Indonesia sebagai negara pertama dari kawasan tropis, sekaligus juga negara dari Asia Tenggara yang mencatat sukses menggapai puncak Everest, di pegunungan Himalaya yang memiliki ketinggian 8.848 meter dari permukaan laut.Saat itu, tanggal 26 April 1997, sinar mentari puncak Everest sedang bergulir menjelang petang. Angin bertiup sangat kencang membawa udara dingin menggigil dan mengubah seketika tetes air menjadi gumpalan es membeku. Awan hitam mulai menggantung di permukaan gunung. Tanda badai akan segera tiba.
Kenangan itu adalah masa lalu. Tergambar jelas di buku setebal 180 halaman yang berjudul Di Puncak Himalaya, Merah Putih Kukibarkan. Kesan yang begitu sulit diungkapkan dengan kata-kata, selain rasa syukur pada Tuhan. Itulah kenangan yang diungkapkan oleh para pendaki, antara lain, Iwan Setiawan, Misirin, dan Asmujiono. Mereka adalah tiga dari 16 pendaki Indonesia yang mencapai puncak
Misirin kembali mengatakan, dirinya tiba-tiba pingsan di tumpukan salju. Tripod tempat mengibarkan bendera di puncak tinggal beberapa meter. "Mata saya tiba-tiba gelap," ujarnya mengenang beberapa jam menuju puncak Everest. Saat itulah, dengan berlari-lari kecil, Asmujiono melewatinya dan berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Everest. Impian itu menjadi nyata.
Puncak Everest adalah "puncak idaman" para pendaki gunung. Kalimat tersebut tidaklah berlebihan. Bagi seorang pendaki gunung sejati, puncak yang berada di pegunungan Himalaya itu merupakan sebuah impian yang bakal terus mengganggu tidurnya. Warnanya yang biru menjulang tinggi dan terkadang disaput salju berwarna putih selalu mengundang pendaki setiap tahun berbondong-bondong ke sana.
Kini, di hari ulang tahun kelima "Merah Putih Berkibar di puncak Everest", mereka mengumpulkan harapan untuk kembali menggapai esok. Walau badai krisis negara ini berlangsung cukup lama, mereka tetap menggantungkan harapan itu di pundak kaum muda sebagai kader penerus

Mau Melaksanakan Idulfitri Jumat atau Sabtu?


Tahun ini, umat Islam di Indonesia besar kemungkinan kembali merayakan Idulfitri 1428 H pada hari yang berbeda. Pasalnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan bahwa 1 Syawal 1428 H jatuh hari Jumat (12/10). Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sampai saat ini belum memutuskan karena masih akan memastikan setelah melihat bulan sabit (hilal) Kamis (11/10) malam. Sedangkan Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama baru akan memastikan 1 Syawal 1428 H setelah menunggu hasil sidang itsbat yang akan digelar di Departemen Agama Rabu (11/10) mendatang.
SEORANG petugas menggunakan alat teropong khusus untuk melihat datangnya hilal dari atas menara Masjid Raya Bandung, beberapa waktu lalu.*ANDRI GURNITA/"PR"
Peran ormas Islam di Indonesia sangat dominan. Hasil keputusan sidang itsbat awal Ramadan atau Idulfitri biasanya tidak berpengaruh pada keputusan yang ditetapkan oleh pimpinan masing-masing ormas.
Keputusan PP Muhammadiyah didasarkan pada hisab (perhitungan falakiyah) bahwa (konjunksi) menjelang Syawal terjadi Kamis Legi, 11 Oktober 2007, pukul 12:02:29 WIB. Tinggi hilal pada saat terbenam matahari di Yogyakarta = +00 37' 31'. Meskipun hilal di wilayah Timur Indonesia belum mewujud, namun hilal sudah mewujud di wilayah Barat Indonesia.
Ahli Falak Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Oman Faturahman meyakini pergantian bulan ditandai batas nol derajat. Artinya, apabila bulan sudah masuk pada ijtimak (0 derajat) maka artinya setelah hal tersebut terjadi merupakan awal dari bulan baru.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menganut sistem rukyat, yakni harus ada orang yang dengan mata melihat hilal di akhir Ramadan. Jika tidak seorang pun melihat bulan sabit di hari ke-29 Ramadan, maka Ramadan dilaksanakan selama 30 hari (istikmal).
”Kemungkinan Lebaran bareng ada. Kemungkinan beda juga ada. Kami akan pastikan setelah melihat bulan sabit yang tampak Kamis malam. Kalau utuh, berarti besoknya kita Lebaran,” kata Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi, usai melayat pimpinan Pesantren Cipasung K.H. Ilyas Ruhiat di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Sabtu (6/10).
Menurut Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, Lapan Bandung, Thomas Djamaluddin, masalah utamanya bukan pada perbedaan antara hisab dan rukyat, tetapi pada perbedaan kriteria awal bulan yang digunakan. Hisab dan rukyat, lanjut Djamaludin, bisa bersatu kalau kriterianya sama. Bila beberapa tahun lalu tidak terjadi perbedaan, bukan berarti telah ada kesepakatan, tetapi lebih disebabkan oleh posisi bulan dan matahari yang memungkinkan semua kriteria yang digunakan di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama.
Upaya menyamakan kriteria itu terus dilakukan. Pertemuan dan diskusi antarormas Islam untuk membahas kriteria itu terus dilakukan. Pemerintah, melalui Departemen Agama berulangkali menjalankan perannya untuk mencari solusi terbaik dengan harapan semua umat Islam bisa merayakan Idulfitri pada hari yang sama.
Wapres Jusuf Kalla berkomentar keras terhadap fenomena tersebut. Tak aneh, ketika kedua pimpinan ormas tersebut bertemu di Kantor Wapres, Jusuf Kalla berkomentar, “Orang AS sudah ke bulan. Kita ngintip bulan saja masih dipertentangkan,” ujar Menteri Agama RI, Maftuh Basyuni meniru ucapan Kalla.
Kendati begitu, Maftuh mengaku gembira, pimpinan dan para pakar astronomi dari kedua ormas sudah membuka diri dan mau bertukar pikiran. Mereka mendiskusikan tentang kalender Masehi, mencari metode yang tepat dan menyamakan terminologi sampai kepada metode yang akan digunakan untuk masa datang.
Ia mengatakan, upaya mencari titik temu antara pihak-pihak yang berbeda dalam menentuan hari puasa dan Lebaran telah dilakukan. Dimulai pada 18 September lalu, diundang wakil-wakil ormas Islam, Lapan, ITB, dan Planetarium untuk membahas masalah tersebut.
Kemudian pada 24 September, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dipertemukan di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla, dihadiri Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan cendekiawan Muslim Quraish Shihab. “Dalam pertemuan itu kedua belah pihak mengarah kepada persatuan,” ujar Maftuh.
Pertemuan berlanjut pada 2 Oktober lalu di kantor PBNU dilangsungkan pertemuan antara pakar-pakar Muhammadiyah dan NU. “Hasil pertemuan menggelinding ke arah persatuan,” ungkapnya seraya menambahkan akan ada pertemuan lanjutan usai hari Lebaran di kantor PP Muhammadiyah, lalu di kantor Departemen Agama Pusat.
Jumat atau Sabtu?
Kalau begitu sebaiknya kita melaksanakan salat Idulfitri Jumat (12/7) atau Sabtu (13/10)? Terserah, sesuai dengan keyakinan masing-masing. Merayakan Lebaran Jumat, memiliki landasan yang kuat dari hasil hisab (perhitungan falakiyah). Bukankah selama ini berbagai hitungan ilmiah yang didasarkan pada ilmu falak dan astronomi sedikit yang meleset? Bukankah selama ini hitungan para ahli yang memprakirakan bahwa akan terjadi gerhana bulan atau peristiwa-peristiwa alam lainnya selalu tepat? Bukankah ketepatan hitungan mereka layak menjadikan kita percaya dengan mereka?
Sebaliknya, mereka yang akan merayakan Idulfitri didasarkan pada rukyat juga tidak salah. Sikap mereka merupakan wujud ketaatan kepada Allah dan Rasulnya yang menganjurkan agar kita melihat bulan dalam melaksanakan puasa atau meninggalkannya. Sikap taat ini merupakan nilai tertinggi dalam beragama.
Memilih berlebaran Jumat atau Sabtu merupakan wujud ijtihad, mencari solusi didasarkan pada argumen yang sahih. Barang siapa melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka orang tersebut mendapatkan nilai pahala 1 poin. Sebaliknya, barang siapa berupaya melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya benar, maka orang tersebut mendapatkan nilai pahala 10 poin. Dalam hal ini tidak ada nilai minus apalagi berdosa bagi yang melaksanakan ijtihad. Apalagi jika ijtihad yang dilaksanakannya didasarkan pada keinginan mencari rida Allah SWT, bukan niat yang lain.

Friday, October 05, 2007

Masjid Dian Al Mahri di Depok, Indonesia




Masjid dengan kubah emas yang terbaru adalah Masjid Dian Al Mahri yang letaknya di Depok, Jawa Barat, tepatnya di Jalan Meruyung, Kelurahan Limo, Kecamatan Cinere, Depok. Masjid ini mulai di bangun pada tahun 1999, dan di resmikan pada bulan April tahun 2006. Masjid ini merupakan milik pribadi dari Hajjah (Hj) Dian Djurian Maimun Al-Rasyid,seorang pengusaha dari Serang, Banten dan pemilik Islamic Center Yayasan Dian Al-Mahri.
Masjid ini luas bangunannya mencapai 8.000 meter persegi dan berdiri di atas lahan seluas 70 hektare. Secara umum, arsitektur masjid mengikuti tipologi arsitektur masjid di Timur Tengah dengan ciri kubah, minaret (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk, untuk memperkuat ciri keislaman para arsitekturnya. Ciri lainnya adalah gerbang masuk berupa portal dan hiasan geometris serta obelisk sebagai ornamen.
Halaman dalam berukuran 45 x 57 meter dan mampu menampung 8.000 jemaah. Enam menara (minaret) berbentuk segi enam, yang melambangkan rukun iman, menjulang setinggi 40 meter. Keenam menara itu dibalut batu granit abu-abu yang diimpor dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat. Sedangkan kubahnya mengacu pada bentuk kubah yang banyak digunakan masjid-masjid di Persia dan India. Lima kubah melambangkan rukun Islam, seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya diimpor dari Italia.
Pada bagian interiornya, ada pilar-pilar kokoh yang menjulang tinggi guna menciptakan skala ruang yang agung. Ruang masjid didominasi warna monokrom dengan unsur utama warna krem. Materialnya terbuat dari bahan marmer yang diimpor dari Turki dan Italia. Di tengah ruang, tergantung lampu yang terbuat dari kuningan berlapis emas seberat 2,7 ton, yang pengerjaannya digarap ahli dari Italia.
Di sekitar masjid dibuat taman dengan penataan yang apik dan detail. Selain taman, juga dibangun rumah tinggal sang pendiri masjid dan gedung serbaguna yang menjadi tempat istirahat para pengunjung .Sedangkan untuk parkir, disiapkan lahan seluas 7.000 meter persegi yang mampu menampung kendaraan 300 bus atau 1.400 kendaraan kecil.
Untuk mencapai lokasi ini cukup mudah, dapat digunakan angkutan umum dari terminal depok ( nomor 03) yang menuju parung bingung. Dari sini bisa menggunakan ojek menuju jalan Meruyung

Thursday, October 04, 2007

Menag: Orang Lain ke Bulan, Indonesia Ngintip Bulan Saja Masih Dipertentangkan


Jakarta-RoL--"Orang Amerika Serikat (AS) sudah menginjak bulan, namun kita mengintip bulan saja masih dipertentangkan," kata Menteri Agama (Menag), M. Maftuh Basyuni, di kediamannya di Jakarta, Kamis malam, tatkala mengomentari masih kuatnya perbedaan Organisasi Massa Islam (OMI) tentang penentuan 1 Syawal 1428 Hijriah atau Lebaran 2007. Pertentangan antar-OMI masih kuat. Muhammadiyah jauh hari sudah mengumumkan bahwa 1 Syawal jatuh pada 12 Oktober 2007, dengan dasar menggunakan metode hisab, sedangkan Nahdlatul Ulama (NU) masih menunggu sidang Isbat yang akan digelar di Departemen Agama (Depag) pada 11 Oktober nanti. Jadi, lanjut menteri, sampai saat ini belum dapat dipastikan jatuhnya 1 Syawal. Pasalnya, karena pemerintah menggunakan metode rukyat dan hisab. Jika pada rapat isbat nanti dilaporkan bahwa hilal tak dapat dilihat, maka puasa Ramadhan dilaksanakan selama 30 hari dan otomatis 1 Syawal jatuh pada 13 Oktober 2007. "Mengapa kedua OMI terbesar di tanah air itu berbeda dalam penentuan 1 Syawal, karena keduanya memiliki metode yang berbeda," kata menteri, dan menambahkan, "Tak aneh, ketika kedua pimpinan OMI tersebut bertemu di kantor Wapres, Jusuf Kalla berkomentar, orang AS sudah ke bulan. Kita ngintip bulan saja masih dipertentangkan." Kendati begitu, Maftuh mengaku gembira, usai kedua pimpinan OMI tersebut bertemu, para pakar astronomi dari kedua OMI membuka diri dan mau bertukar pikiran. Mendiskusikan tentang kalender Masehi, mencari metode yang tepat dan menyamakan terminologi sampai kepada metode yang akan digunakan untuk masa datang. Karena Muhammadiyah sudah menentukan 1 Syawal pada 12 Oktober 2007, tentu hal itu tak akan dapat diubah. "Hal ini sudah terlanjur ditentukan," katanya. Namun demikian Menteri masih dapat berharap bahwa pada sidang Isbat nanti hilal sudah dapat dilihat sehingga pelaksanaan Lebaran dapat dilaksanakan oleh seluruh OMI di tanah air. Kalaupun ada perbedaan, ia berharap pula bahwa perbedaan tersebut jangan dijadikan pertentangan. Maftuh mengimbau semua pihak mau melepaskan segala egois, dan masing-masing pihak menggunakan domir (hati nuraninya) maka akan ditemui titik kesepahaman dalam penentuan 1 Syawal. Dengan begitu, negara Islam lainnya tak lagi merasa heran dengan penentuan Lebaran di Indonesia. Menanggapi kemungkinan berbagai OMI tak juga bersepakat dalam penentuan 1 Syawal dan kemudian Menteri Agama mengambil sikap "keras", Maftuh mengatakan, jika hal itu hendak dilakukan, tentu sudah dilakukan sejak dahulu. "Saya bisa, tapi tak akan hal itu dilakukan," katanya. "Saya tak akan bersikap otoriter. Biarkan masing-masing OMI bertemu dan menemukan titik persamaan," ujar Maftuh. antara/pur

Tuesday, October 02, 2007

Berburu Lailatulqadar

”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izinTuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Q.S. Al-Qadr:1-5)

BEGITU besar kasih yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Lihatlah kita, manusia, sebagai hamba-Nya dengan tabiat yang sering jatuh bangun dalam lumpur dosa. Namun Allah senantiasa mengasihi dengan memberi kita kemudahan-kemudahan untuk menyucikan diri dari karat-karat dosa dan kemaksiatan. Tak bisa dibayangkan, sebesar apa noda hitam kemaksiatan itu tergores dalam hati, apabila Allah tidak melimpahkan ampunan-Nya yang Mahaluas.

Ramadan merupakan salah satu sarana yang Allah berikan kepada kita untuk memperoleh ampunan-Nya. Banyak sekali kelebihan-kelebihan yang Allah berikan kepada hambanya melalui Ramadan ini, sehingga wajar kalau Rasulullah mengekspresikan keutamaan Ramadan dengan sabdanya, "Apabila umat ini tahu apa yang ada dalam Ramadan, niscaya mereka akan mengharapkan hal itu selama satu tahun penuh." (H.R. Tabrani).

Bahkan salah satu malam yang diselimuti keberkahan hanya terdapat pada salah satu malam pada bulan Ramadan. Betapa agungnya Ramadan sehingga tak ada selainnya yang mendapatkan malam mulia yang lebih baik dari seribu bulan. Rasulullah saw. bersabda, ”Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatulqadar, niscaya diampuni dosa-dosanya yang sudah lewat.” (H.R. Bukhari-Muslim).

Banyak penjelasan Rasulullah saw. yang sampai pada kita tentang keutamaan-keutamaan malam yang penuh berkah ini. Sebagai malam yang terbaik dan paling berkah di antara malam yang ada, di dalamnya Allah telah menjanjikan kepada hamba-Nya yang ikhlas dan berharap untuk mendapatkan perlindungan-Nya pada hari akhir, akan melipatgandakan sampai seribu bulan untuk amalan-amalan kebaikan yang dilakukan pada malam itu.

Banyak sekali hadis yang menerangkan bahwa kaum Muslim hendaklah mencari lailatulqadar di antara tanggal ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan (H.R. Bukhari) atau tujuh malam terakhir bulan itu (H.R. Bukhari). Tampaknya bagi kita tidak menjadi soal kapan lailatulqadar itu didatangkan, tetapi yang penting adalah menjemput kedatangannya pada setiap waktu dan mempersiapkan diri untuk itu. Mungkin lebih baik jika kita pusatkan perhatian pada kesiapan mental, kejernihan hati, ketulusan jiwa, keadilan pikiran, kepenuhan iman kita, serta totalitas iman dan kepasrahan jiwa kita kepada Allah Azza wa Jalla.

Oleh karena itulah, Ramadan dengan lailatulqadar-nya sebagai satu media yang bisa mengantarkan kita pada kesucian. Adalah sangat disunahkan bagi kita untuk berusaha memperolehnya dengan memperbanyak ibadah dan amalan-amalan yang baik. Rasulullah suatu ketika bersabda, "Barangsiapa beramal pada malam lailatulqadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka terampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." Tidak berlebihan memang kalau Allah menamainya sebagai malam yang kebaikannya melebihi seribu bulan.

Tentu alangkah sombongnya manusia yang sangat membutuhkan pengampunan dari Allah atas perbuatan-perbuatan mereka yang banyak menyimpang, apabila mereka menyia-nyiakan kesempatan emas yang belum tentu akan mereka dapatkan pada masa-masa yang akan datang. Siapa yang bisa menjamin bahwa usia kita akan sampai Ramadan tahun-tahun yang akan datang. Oleh karena itu, merupakan keharusan yang tidak bisa tidak bagi kita, untuk mengejarnya sehingga janji-janji Allah yang telah ditaburkan-Nya itu benar-benar bisa kita dapatkan.

Berangkat dari sini, kita bisa menyikapinya dengan senantiasa mengoptimalkan ibadah kita pada sepuluh malam terakhir dalam bulan yang penuh rahmat ini. Dengan begitu, kita tidak khawatir akan terlepas dari malam lailatulqadar, karena kita mencarinya hanya pada malam-malam tertentu.

Kemudian setelah paparan di atas, kita sebagai hamba Allah yang benar-benar memahami kebenaran kekuasaan-Nya sadar bahwa usaha kita dalam mencari lailatulqadar ini adalah untuk membuktikan dan merealisasikan penghambaan kita kepada Allah SWT, sehingga hal itu mengingatkan kita, seharusnyalah kita bersama-sama mendekatkan diri kapan pun dan di mana pun, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Semoga Allah Yang Mahaagung memberi kesempatan kepada kita untuk mengecap, menikmati, dan melampaui malam lailatulqadar pada bulan Ramadan ini dengan kesungguhan beribadah dan keikhlasan hati. Wallahu a'lam.***

Penulis, pengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhiid Bandung.