Tuesday, August 14, 2007

INSPIRASI SEBATANG RUMPUT


Saat senja mulai datang….
Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang dari sebuah masjid. Belum terlalu gelap tapi waktu maghrib telah tiba. Pelan, kulangkahkan kaki. Menyongsong panggilan Sang Khalik. Entah mengapa, orientasi saya selalu tak baik. Ketika sedang dilanda berbagai beban, mulai rajin kembali ke masjid untuk sholat berjamaah. Saat hidup dipenuhi beragam rejeki dan taburan kebahagiaan, sering lupa diri. Berkaca pada kondisi yang demikian saya selalu merasa berdosa. Tak adil memang saya. Tapi sudahlah, saya akan coba berdialog lagi dengan Allah.
Sampai di depan masjid…
Sekilas tak ada yang baru. Beberapa minggu lalu, memang halaman telah dipasang paving blok. Halaman yang semula berumput diganti dengan blok-blok, cor-coran pasir dan semen. Katanya untuk memudahkan parkir kendaraan. Juga, direncanakan untuk mengantisipasi jamaah yang membludak kelak saat ramadhan tiba. Setelah saya padang lagi, eh ternyata ada yang baru rupanya. Satu hal yang baru itu memang terlihat remeh, terlihat kecil, tapi justru memberikan inspirasi kepada saya. Ya, inspirasi sebatang rumput.
Sebenarnya, inspirasi itu datangnya setelah sholat. Saya merenung lebih dalam lagi. Halaman itu awalnya tumbuh rumput yang lebat, kemudian tertutup pasir dan paving blok. Jelas, rumput tak leluasa bisa tumbuh untuk beberapa hari, bahkan berminggu lamanya. Rupanya, rumputpun tak hanya diam begitu saja. Tetap ingin tumbuh. Ia mencari jalan keluar melalui sela-sela paving blok. Satu batang muncul, kemudian menyembul beberapa batang yang lain. Begitu seterusnya. Tadi saya melihat rumput-rumput itu sudah lumayan banyak tumbuh melalui sela-sela paving blok.
Melihat fenomena ini saya tertegun.Saya merenung.
Saya kembali bercermin pada diri saya. Sesuatu yang saya rasakan saat ini. Jujur, ada beban berat yang hari ini saya mesti pikul. Tak begitu penting sepertinya untuk diketahui publik. Hanya, saya sekedar ingin membagi perenungan tentang sebatang rumput yang terus tumbuh di halaman masjid itu dengan kondisi yang saya rasakan saat ini.
Rumput itu tentu punya masalah juga. Awalnya ia begitu leluasa tumbuh, mendapat siraman hujan dan sentuhan sinar mentari yang membuatnya bisa berkembang lebat di halaman masjid. Setelah tertimpa pasir dan paving blok masalah datang, kalau bisa menangis, rumput itu bisa jadi telah menangis. Tapi, mungkin hanya sebentar saja. Lantas, rumputpun tak hanya berdiam diri. Terus mencari jalan keluarnya hingga kemudian bisa menyembul kembali disela-sela paving blok itu. Padat cerita, rumput itu telah berhasil mengatasi kesulitan dalam hidupnya. Telah bisa tumbuh kembali.
Lewat sebatang rumput inilah saya berkaca. Saya yakin, Allah tak akan menguji hambanya dengan cobaan yang tak bisa dilaluinya. Saya yakin semua masalah yang ada dan hadir dalam kehidupan saya pasti teratasi, pasti ada jalan keluarnya. Kuncinya, seperti rumput tadi, bisa menemukan celahnya, bisa menemukan titik terang jalan keluar yang mesti harus ditempuh. Sudah pasti, dengan kesabaran tentunya.
Inilah inspirasi dan pelajaran dari sebatang rumput. Saya punya beban, punya masalah. Dan saya yakin kita semua juga punya masalah. Tugas kita memang tidak lari dari masalah itu, tapi menghadapinya dengan jiwa tenang. Dengan usaha sekuat tenaga. Celah-celah untuk keluar dari masalah pasti ada. Dan, kita kelak pasti akan menemukan titik terangnya. Begitulah. Hari ini kita belajar kepada sebatang rumput untuk keluar dari beban masalah yang kita rasakan. Kita harus hadapi masalah dengan gagah, bukan justru lari dari kenyataan. Kalau ini yang terjadi, kita pantas malu pada sebatang rumput itu.

Friday, August 03, 2007

Calon Independen

UPAYA membangun sistem politik dan demokrasi pascareformasi di Indonesia bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan sederhana. Salah satu parameter penting dalam pembangunan sistem politik demokratis suatu negara adalah berkaitan dengan aktualisasi peran dan fungsi partai politik di dalamnya. Karena, eksistensi partai politik merupakan potret paling nyata dalam menjabarkan perilaku politik, aspirasi dan kepentingan rakyat di tingkat infrastruktur yang teraktualisasikan ke dalam domain politik kenegaraan.
Partai-partai politik memiliki hak dan aturan internal untuk menentukan siapa saja yang dapat dicalonkan/mencalonkan diri, dan konteks ini dipahami secara sederhana sebagai "asal dapat memberikan keuntungan bagi kepentingan partainya di kemudian hari". Bahkan kondisi ini sangat rentan untuk terjadinya mekanisme "jual beli" suara partai sebagai kendaraan politik dalam mendapatkan "hak legitimasi" untuk mencalonkan/dicalonkan dalam pertarungan memperebutkan kursi pemimpin suatu daerah. Rakyat kebanyakan tidak memiliki kepentingan dan mendapatkan hak untuk melegitimasi secara proporsional terhadap calon pemimpinnya. Rakyat dipaksa untuk memberikan legitimasi melalui pemilihan langsung dalam mekanisme "pilkada" sebagai akibat dari kesantunan rakyat dalam menjalankan kewajiban sebagai warga negara dalam mekanisme menentukan pilihan, dan selalu saja terjadi keberpihakan dan pertarungan yang melibatkan kepentingan perikehidupan rakyat secara langsung. Persoalan-persoalan inilah yang tidak terselesaikan secara elegan oleh para elite partai-partai politik sehingga berdampak terhadap tingkat kualitas partai politik.
Masalah Parpol
Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang, partai-partai politik lebih banyak mendatangkan masalah ketimbang membawa manfaat bagi kepentingan rakyat. Paling tidak ada lima masalah yang dihadapi oleh partai-partai politik di Indonesia (Sutoro Eko: 2006). Pertama, perjalanan partai politik selalu diwarnai oleh "patahan-patahan sejarah" (historical fractures) partai, menurut Daniel Dhakidae; patahan terbesar adalah pada zaman pendudukan Jepang yang tidak menyaksikan partai politik. Ketika kemerdekaan diraih pada tahun 1945, masyarakat Indonesia menikmati euforia politik yang luar biasa. Partai-partai menjamur pada masa demokrasi parlementer dengan ideologi yang beranekaragam demikian juga sekarang.
Kedua, jurang lebar antara partai politik dengan masyarakat akibat warisan kebijakan massa mengambang dan praktik korporatisme negara pada Orde Baru. Partai-partai dikebiri dan diputus jalinannya dengan rakyat sementara aspirasi (kepentingan) masyarakat disalurkan secara "terkendali" melalui organisasi-organisasi bentukan negara. Era reformasi merupakan peluang untuk mendisasin ulang orientasi partai. Persoalannya adalah membuat partai-partai berakar pada masyarakat. Hal ini harus dimulai dengan meluasnya jaringan organisasi partai sejauh ke akar rumput. Tetapi, perluasan jaringan organisasi partai sejauh ini sebatas untuk memobilisasi dukungan massa untuk meraih kekuasaan, bukan dalam rangka menerjemahkan fungsi-fungsi partai yang komprehensif, tetapi dalam praktiknya partai-partai politik tetap tidak berhasil menampilkan diri sebagai basis artikulasi, partisipasi, dan kontrol publik terhadap negara.
Ketiga, partai politik di Indonesia sangat kental dengan elitismenya ketimbang sebagai organisasi yang mengakar ke bawah. Hal yang menonjol adalah ketergantungan organisasi partai pada figur pemimpin puncaknya ketimbang kinerja secara keseluruhan, sebagai instrumen untuk meraih dukungan massa. Keempat, partai politik lebih digerakan oleh politik identitas yang sektarian ketimbang oleh ideologi dan perjuangan kelas.
Kelima, kepartaian di Indonesia jauh dari budaya oposisi. Di masa Orde Baru, dua partai nonpemerintah (PPP dan PDI) adalah lawan-lawan politik yang tidak berperan sebagai opsisi, melainkan sebagai pecundang yang cukup puas menerima pembagian jatah kekuasaan dan kekayaan secara terbatas.
Calon independen
Pengalaman pasca-Pemilu 1999 membuktikan, para elite yang berkuasa melupakan janji-janji yang mereka obral pada rakyat menjelang pemilihan umum. Mereka tidak lagi berpikir tentang rakyat, tetapi berpikir tentang bagi-bagi kekuasaan. Kursi jabatan, projek, fasilitas negara, pakaian dinas, dan ketika jabatan hampir berakhir mereka berjuang untuk memperolah pesangon. Ketika berkuasa mereka dibentengi oleh konstitusi yang membuat rakyat tidak mudah menyentuhnya. Konstitusi atau aturan legal lainnya selalu merupakan hasil dominasi dan eksploitasi terhadap masa. Selain konservatif dalam artian akan terus dipertahankan, kekuasaan, sebagaimana dikatakan Lord Acton, cenderung korup.
Kurang lugasnya elite partai menjabarkan nilai bangun partai politik sebagai ruang publik ke dalam pemahaman orientasi politik dewasa ini, memberi andil besar terhadap ketidakmampuan elite partai untuk memperlakukan partai sebagai media yang menjembatani kepentingan rakyat (konstituen partai) dalam perilaku kehidupan berpolitik. Macetnya hierarki aspirasi baik di tingkat wacana maupun di tingkat aktualisasi serta terputusnya proses pembelajaran politik dan mekanisme pendidikan kepada rakyat oleh partai politik, semakin menempatkan rakyat pada posisi yang terpisahkan dari zoon politicon dalam perikehidupan ketatanegaraan dan kewarganegaraan. Pandangan inilah yang kemudian menjadi indikasi yang melambungkan wacana untuk menempatkan suara independen dalam menentukan calon pempimpin secara proporsional dan aspiratif, pilihan yang mungkin lebih memiliki nilai serta realistis di mata rakyat.
Dukungan untuk menempatkan calon independen dalam tatanan apresiasi sistem politik di Indonesia pada mulanya/kebanyakan diembuskan melalui elite politik nonpartisan. Kemudian tumbuh menjadi bola liar yang menjadi wacana di ruang demokratisasi dalam konteks perilaku politik masyarakat. Semakin besar bola liar itu bahkan terkristalisasi melalui peran media yang melambungkannya sebagai isu manis bagi kepentingan dinamika perubahan dan demokrasi. Walaupun, masih ada sedikit kecurigaan yang terbangun dalam ruang dinamika perikehidupan yang seolah-olah mengalihkan perhatian rakyat terhadap masalah yang sesungguhnya.
Terlepas dari persoalan tersebut, konsepsi terhadap bergulirnya calon independen kemudian mendapatkan kesempatan dengan lolosnya judicial review oleh Mahakamah Konstitusi, pasal calon independen dalam UU. No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Konsepsi ini semakin memberikan penegasan terhadap wacana dinamika perubahan demokratisasi didaerah khususnya, sehingga secara teknis semakin memberi peluang bagi lolosnya calon independen dalam bursa calon gubernur, calon wali kota, dan calon bupati di daerah. Wacana ini memberi peluang bagi terciptanya ruang politik nonpartai yang dapat menempatkan keterwakilan aspirasinya melalui pemimpin yang sesuai dengan aspirasi politik rakyat melalui mekanisme nonpartai.
Dalam konteks ini harus ada kecerdasan dan kedewasaan perilaku serta keterbukaan baik oleh rakyat maupun institusi partai politik dalam menerima calon independen. Hal ini tidak berarti menafikan fungsi dan kepentingan partai politik sebagai tatanan demokratisasi dalam sistem politik, karena proses mekanisme pemerintahan dan ruang publik jelas terbangun melalui perangkat kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang semuanya harus berjalan serta bersinergi membangun kepentingan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Justru sebaliknya keberadaan calon independen lebih menegaskan ruang mana konstituen yang telah terbangun oleh mekanisme partai yang dapat dijadikan sebagai alat ukur kaderisasi dan fatsun terhadap partainya. Dengan demikian, partai politik lebih memiliki perimbangan serta mendapatkan ruang gerak yang signifikan untuk melihat secara realistik dalam memfungsikan mesin politik yang dibangunnya sampai ke tingkat grassroot. Selain juga dapat memanfaatkan waktu bagi partai-partai politik untuk melakukan pembenahan secara makro di tubuh internal partainya serta mempersiapkan secara matang dalam menerima regulasi terhadap keberadaan calon independen.
Masih belum tegasnya regulasi sebagai perangkat legal bagi terlegitimasinya mekanisme proporsional calon independen yang mengatur secara teknis terwadahinya calon independen dalam pilkada, wacana ini juga masih menjadi perdebatan yang terbangun oleh kecurigaan dan ketidaksepahaman baik oleh institusi partai politik maupun sebagian elit politik. Realitasnya wacana calon independen yang oleh MK telah dibolehkan. Namun, sampai saat ini pemerintah pusat belum secara tegas menetapkan aturan main yang dapat dijadikan landasan sebagai batas persyaratan bagi calon independen untuk masuk dalam bursa pilkada. Harus ada political will yang fair oleh pemerintah melalui regulasi yang proporsional, sehingga terhindar dari kecurigaan dan keberpihakan dalam kepentingan elite partai politik serta menghindari perilaku inkonsistensi di mata rakyat. Walaupun akan sangat rumit untuk dilakukan melalui mekanisme aturan yang setara undang-undang atau melalui pengajuan peraturan pengganti pemerintah (perpu) yang diajukan melalui mekanisme legislasi DPR yang memiliki kewenangan untuk menerima dan menolak, yang pada akhirnya akan memasuki wilayah pertarungan yang dapat saja tidak fair dan tidak baik.
Tentu saja, harus ada kearifan yang realistik dalam menyikapi perdebatan wacana calon independen ini, walaupun secara pragmatis wacana munculnya calon independen seolah mempertegas ketidakberdayaan partai-partai politik dalam membangun nilai-nilai konstitusional dan kepercayaan dimata rakyat. Hal tersebut dapat saja diasumsikan sebagai personality institution yang mendapatkan kesetaraan nilai sebagai lembaga yang sah dalam konteks demokratisasi. Namun, apa pun bentuknya jika persaingan antara institusi parpol dan calon independen terjadi, yang harus dilakukan adalah melalui mekanisme yang fair dan persaingan yang sehat.
Betapa pun wacana ini dapat menjadi perdebatan panjang, ada beberapa hal yang harus dapat dilakukan baik oleh partai politik maupun calon independen. Seperti dalam perebutan kursi pimpinan daerah melalui pilkada. Sebagai sebuah ritual demokrasi terlepas dari mekanisasi aturan yang ada atau sebagai aktualisasi strategi dari proses pembelajaran yang diyakini baik dalam teori perikehidupan maupun pengalaman hidup. Hal itu harus mampu menempatkan nilai-nilai kejujuran dan penegakan tatanan baik hukum maupun tatanan sistem yang dapat memberikan kemaslahatan bagi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar untuk terpeliharanya kesinambungan perikehidupan di masa depan.***
Penulis, Rektor Universitas Pasundan, Ketua Forum Rektor Simpul Jawa Barat dan Banten serta Sekjen Paguyuban Pasundan.