Thursday, April 19, 2007

Kenikmatan Bersahaja "Beunteur"


Interior mewah, menu luar negeri, bahan makanan kelas satu, koki impor, dan harga mahal memang menjanjikan kepuasan rasa bagi lidah. Namun, apakah semuanya itu menjamin kepuasan rasa bagi hati?
Sudah sering kita dengar kenikmatan sejati berasal dari kesederhanaan dan ketulusan hati. Satu lagi bukti pernyataan itu adalah Warung Beunteur Ma Ijoh.
Bagi yang tidak paham bahasa Sunda, beunteur adalah ikan kecil yang hidup di sungai dangkal berbatu-batu di kawasan pegunungan. Di bagian lain Pulau Jawa, orang mengenal ikan-ikan serupa dengan sebutan wader.
Tidak ada yang istimewa dengan beunteur atau wader. Demikian juga dengan Warung Ma Ijoh. Tempatnya di pinggir jalan raya Leuwimunding yang menghubungkan kota Kecamatan Rajagaluh dan Prapatan, tepatnya di Desa Leuwimunding, Kecamatan Leuwimunding, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Sederhana
Semua serba sederhana. Papan namanya berukuran kecil dan sudah kusam dimakan usia. Daftar menunya cukup tulisan dari stiker warna-warni yang ditempel di kaca jendela depan.
Interiornya adalah tiga meja makan tradisional terbuat dari kayu kasar, memenuhi ruangan yang dulunya ruang tamu dan ruang keluarga sebuah rumah mungil. Sebagian ruangan kini sudah dijejali bilik-bilik warung telekomunikasi (wartel), menambah sempit ruang makan.
Tak ada AC, tak ada musik merdu mengalun di latar belakang, tetapi ini adalah warung sejati, bukan warung tradisional "jadi-jadian" yang kini makin banyak di sudut-sudut kawasan mahal di Jakarta dan Bandung.
Menu yang ditawarkan bersahaja, sebagian besar adalah menu makanan tradisional masyarakat Sunda. Pepes ikan mas, sayur asem, sayur lodeh, ayam goreng, dan tentu saja, lalapan dan sambal terasi! Kalau bingung seperti apa bentuk dan rasa makanan-makanan itu, boleh melihat-lihat dulu pada berbagai masakan yang disiapkan dalam baskom-baskom kecil di balik lemari kaca.
Sangat gurih
Baiklah, mari kita mulai memesan. Karena ini adalah warung beunteur, tentu saja menu utama yang "wajib" dipesan adalah seporsi beunteur goreng. Tanpa menu ini, Warung Ma Ijoh tidak ada nilai istimewanya dibanding warung-warung tradisional lain di Jawa Barat.
Keistimewaan beunteur di Warung Ma Ijoh terletak pada beragamnya jenis ikan yang ada di dalamnya. Seolah-olah segala jenis ikan dan binatang air yang terjaring dari sungai (yang layak dimakan manusia, tentu saja) langsung dibersihkan dan dituang ke penggorengan. Maka jangan heran apabila di sela-sela ikan kecil, akan ditemukan udang sungai atau belut kecil.
Asal tahu saja, semuanya akan terasa sangat gurih setelah digoreng. Tidak dibutuhkan teknik memasak yang tinggi, cukup dengan bumbu garam, bawang putih, bawang merah, dan jangan sampai gosong saat menggorengnya.
Usahakan datang pada pagi hari sebelum jam makan siang, maka beunteur ini masih tersaji dalam keadaan hangat. Kalau pun sudah dingin, kita bisa minta pada pelayan untuk menggorengnya lagi, sekadar untuk memanaskan.
"Kami menggoreng dua kali sehari, pagi dan sore. Sehari bisa habis 50-60 kilogram beunteur karena kami juga memasok beunteur goreng untuk restoran-restoran besar di Bandung," papar Ruh Rukinah alias Mak Eruh (50-an tahun), generasi ketiga pengelola Warung Mak Ijoh.
Siang itu kami memakan beunteur goreng dengan nasi putih yang pulen dan hangat sambil ditemani menu tambahan sayur lodeh, tahu-tempe goreng, pepes jamur, sambal terasi, dan aneka sayuran segar sebagai lalapan. Tidak lupa kami memesan petai bakar untuk memberi totalitas santap siang ala Sunda ini. Segelas besar es teh manis sudah siap untuk mengusir dahaga dan mencegah kepedasan.
Lodeh yang disajikan agak berbeda dengan sayur lodeh biasanya. Lodeh Mak Ijoh lebih bening dan terang, dengan rasa lebih lembut daripada lodeh "jawa".
Untuk seluruh hidangan buat dua orang itu, harga yang harus dibayar cukup Rp 23.000. Beunteur goreng yang sangat gurih itu sendiri dihargai Rp 5.000 per porsi.
Sejarah panjang
Setelah terbiasa dengan sajian makanan serba instan dan "enak" di kota besar, sungguh suatu pembebasan merasakan sajian tradisional yang sesungguhnya, di tempat asalnya. Sambil menikmati gurihnya beunteur goreng, sensasi petai bakar dan kesegaran lalapan yang diolesi sambal, kami mendengar Mak Eruh meneruskan ceritanya.
Warung Mak Ijoh dibuka pertama kali sekitar tahun 1950-an saat warung makan masih menjadi barang langka di daerah pedalaman Jawa Barat.
"Yang membuka nenek saya, Mak Ijoh sepuh. Lalu diteruskan Mak Ijoh muda sampai 1982. Waktu itu, orang-orang dari Maja, Rajagaluh, dan Prapatan kalau mau makan datang ke warung ini karena memang belum ada warung lain," paparnya.
Hingga kini pun masih banyak pelanggan Warung Ma Ijoh yang datang dari kota-kota jauh, seperti Indramayu, Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, bahkan Yogyakarta. "Kalau dulu bapaknya jadi pelanggan, anak-anaknya kemudian penasaran ingin nyicipin. Dulu selain beunteur, hidangan spesialnya lele dan udang goreng," tutur Ma Eruh.
Beunteur dan ikan lele dulu mudah didapatkan di sungai-sungai atau walungan di sekitar Leuwimunding. Namun, seiring dengan perubahan lingkungan, sungai-sungai makin dangkal dan ikan-ikan itu makin sulit dicari. Kini, lele dan udang sudah sangat langka dan Ma Eruh harus membeli beunteur dari para pencari ikan di tempat yang lebih jauh, seperti kawasan Jamblang dan Sumber, Kabupaten Cirebon, yang masih memiliki walungan dan sungai-sungai besar.

No comments: