Monday, June 11, 2007

191 Tahun Letusan Tambora (3-Habis)

Peristiwa meletusnya Gunung Tambora, yang puncaknya terjadi pada 11 April 1815, menyisakan banyak tanda tanya. Kajian dari kalangan ilmuwan pun memunculkan banyak pertanyaan. Salah satu interpretasi (teori?) yang mencengangkan adalah dikaitkannya letusan Tambora dengan kekalahan Napoleon di Waterloo pada 18 Juni 1815.
Jika itu betul, sungguh luar biasa dampak ikutan meletusnya Gunung Tambora yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, tersebut. Karena, sejarah telah mencatat, akibat peristiwa kekalahan Napoleon di Waterloo maka "peta dunia" pun berubah. Bukan saja di daratan Eropa, tempat kejadian itu berlangsung, tetapi juga secara tidak langsung peristiwa ’politik’ terbesar di abad ke-19 itu ikut mengubah kondisi sosial politik di Nusantara.
Adalah Kenneth Spink, seorang pakar geologi, yang tampil dengan "teori" yang—tentu saja—masih harus diuji kebenarannya itu. Dalam satu pertemuan ilmiah tentang Applied Geosciences di Warwick, Inggris (The Geographical Magazine, Juni 1996), Spink mencoba menggambarkan betapa besar dampak dari keguncangan angkasa yang terganggu oleh erupsi Gunung Tambora terhadap tatanan iklim dunia pada masa itu.
Sejumlah negara, terutama di kawasan Eropa dan Amerika Utara, bahkan ikut terkena getahnya. Materi—khususnya berupa partikel debu vulkanik—yang terlontarkan ke atmosfer akibat erupsi Tambora diyakini telah memengaruhi cuaca di seluruh dunia. Musim panas setelah tahun 1815 justru didominasi hujan dan suhu dingin. Bahkan, tahun 1816 dikenal dengan sebutan "Tahun Tanpa Musim Panas" lantaran pada musim panas tahun itu suhu turun 1-2,5 derajat lebih rendah daripada biasanya.
Berdampak luas
Fenomena alam yang berlangsung di luar ’garis normal’ itu terutama paling dirasakan di sebagian Amerika Utara seperti Kanada dan sebagian besar Eropa Barat. Cuaca dingin itu diberitakan telah merusak perkebunan di kawasan-kawasan tersebut. Panen gagal di mana-mana. Bahkan, ladang-ladang gandum dan jagung di Maine, AS, dilaporkan gagal panen akibat tanamannya membeku. Di Asia pun cuaca pada tahun 1816 tercatat abnormal. Konsentrasi tinggi dari partikel debu di lapisan atmosfer bumi akibat letusan Tambora diduga menutupi radiasi matahari, sehingga bumi menjadi lebih dingin daripada biasanya.
Di Eropa Barat, sejak awal Juni 1815—hanya berselang 1,5 bulan meletusnya Gunung Tambora yang berada jauh dari daratan Eropa—terjadi apa yang disebut "hujan salah musim". Dan itu terjadi selama beberapa minggu. Jalan-jalan utama antarnegara dan antarkota, yang pada masa itu memang sudah tidak mulus, bahkan dipenuhi lumpur.
Keadaan ini tentu saja menyulitkan ambisi Napoleon untuk menginvasi sejumlah negara di Eropa. Ruang gerak tokoh dari Perancis—yang ketika itu baru saja lolos dari pengasingannya di Pulau Elba pada Maret 1815— tersebut dengan sendirinya terhambat. Gagasannya menyerbu Brussel pun berantakan. Sementara pasukan penopang Perancis dengan peralatan perangnya, lengkap dengan persenjataan berat, terhalang oleh lapisan-lapisan lumpur tebal yang memenuhi jalan raya. Napoleon hanya bisa menunggu, sementara bala bantuan tetap tak kunjung tiba.
Akibat dari itu semua sungguh mengenaskan bagi kejayaan Napoleon. Tanggal 18 Juni 1815 ia harus menyerah kalah kepada tentara ’Sekutu’ di Waterloo, sebelum akhirnya menghabiskan sisa hidupnya hingga 1821 di tempat pembuangannya di Saint Helena. Kekalahan Napoleon di Waterloo—yang disebut-sebut secara tidak langsung berkat "tangan Tuhan" lewat letusan Tambora—itu tercatat dalam sejarah peradaban dunia, yang kemudian berimplikasi luas pada "peta dunia", termasuk keadaan politik di Nusantara.
"Tentu saja masih harus dipertanyakan apakah hujan yang luar biasa pada Juni 1815 itu memang ada hubungannya dengan erupsi Tambora. Namun, keterkaitan antara kemenangan ’Sekutu’ di Waterloo dengan pengembalian wilayah yang diduduki Inggris di Indonesia kepada Belanda, itu sudah jelas," kata Adrian B Lapian, sejarawan maritim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Dalam buku persembahan khusus untuk Prof Dr Denys Lombard (Panggung Sejarah, 1999), Adrian B Lapian juga mencatat, begitu besar perhatian Thomas Stamford Raffles pada peristiwa tersebut. Sebagai pejabat tertinggi dari pemerintahan pendudukan Inggris di Indonesia, yang kebetulan juga sangat memerhatikan masalah- masalah ilmiah, Raffles segera mengumpulkan laporan mengenai peristiwa tersebut.
Mengutip laporan CE Wurtzburg dalam Raffles of the Eastern Isles yang diterbitkan Oxford University Press (1984) suntingan Clifford Witting, disebutkan bahwa ledakan yang terdengar hingga ke Yogyakarta itu semula disangka tembakan meriam, terjadi sejak 5 April. Keesokan harinya matahari agak gelap, seolah-olah diselimuti kabut. Keadaan ini berlangsung berhari-hari. Di tengah rentetan bunyi "tembakan meriam" itu abu vulkanis pun mulai turun.
Dan, pada malam tanggal 10 April 1815, rentetan bunyi itu kian kerap dan semakin dahsyat, terdengar hingga ke Cirebon. Ledakan-ledakan itu terus berlangsung dan memuncak pada tengah hari tanggal 11 April 1815. Siang itu pun menjadi gelap gulita. Bersamaan dengan itu bumi bergetar seperti mau oleng, angin berkesiuran, dan debu memenuhi angkasa.
Dikutip juga laporan saksi mata yang disampaikan Raja Sanggar, sebuah kerajaan kecil di Pulau Sumbawa yang tak terlalu jauh dari Tambora. "Pukul tujuh malam tanggal 10 April, dari Sanggar terlihat jelas tiga kolom api yang keluar dari puncak Tambora. Dalam waktu seketika seluruh gunung tampak seperti sebuah benda api yang cair, yang menyebar ke semua penjuru."
Tak lama berselang, hujan debu bercampur batu yang lebat mulai turun di Sanggar, disusul angin berputar dahsyat dan merobohkan hampir semua rumah. Di wilayah Sanggar yang berdekatan dengan Tambora, begitu laporan Raja Sanggar, kerusakan lebih parah lagi. Pohon-pohon besar tercerabut bersama akar- akarnya dan terlempar ke udara; bersama orang, rumah, ternak, dan semuanya. Laut pun menyerang dengan ombaknya yang tinggi, menyapu bersih rumah dan bangunan yang dilewatinya.
"Kira-kira sejam lamanya angin puyuh melanda negeri dan selama itu tidak terdengar ledakan. Baru sesudah angin berhenti, bunyi dentuman sangat riuh tanpa henti hingga malam tanggal 11 (April). Setelah itu ledakan berkurang, tetapi sampai tanggal 15 Juli 1815 masih saja terdengar letupan-letupan..."
Wabah kolera
Tak habis-habisnya cerita dan kesan dari kedahsyatan erupsi Gunung Tambora yang kini masih berstatus aktif normal tersebut. Fenomena alam yang timbul tidak hanya menciptakan kengerian, tetapi juga memunculkan keindahan. Debu dan kerudung sulfur menciptakan efek optikal yang spektakuler.
Setelah senja, matahari tetap menyinari kerudung sulfur di lapisan stratosfer sehingga langit terlihat memerah, bahkan setelah matahari terbenam. Di musim panas dan gugur tahun 1815, langit senja yang indah itu juga terlihat di England dan menginspirasi pelukis romantik asal Inggris, Joseph Wiliam Turner.
Namun, seperti dicatat oleh Bernice de Jong Boers dalam artikelnya, "Maount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermaths", letusan Tambora juga jadi pemicu pecahnya epidemik kolera pertama di dunia. Sebelum erupsi besar tersebut kolera sudah jadi endemik di sekitar daerah ziarah umat Hindu seperti Sungai Gangga di India. Kemudian epidemik kolera pecah di Banglades dan menyebar lebih jauh bersama pasukan Inggris, lalu bergerak ke Afganistan dan Nepal.
Epidemik kedua pecah di India tahun 1826 dan menyebar ke Moskwa (1830) dan Eropa Barat (1831). Dari sana menyeberang ke Atlantik Ocean dan mencapai New York tahun 1832. Epidemik yang mendunia ini merengut nyawa ribuan jiwa dan mendorong migrasi penduduk secara besar-besaran.
Sebelum tahun 1817 terdapat strain spesifik kolera yang disebut cholera nostras dengan penyebab salmonella paratyphi. Sekalipun mematikan namun jarang menimbulkan epidemik. Jenis ini diduga menjadi endemik di Gangga dan tidak pernah menjadi epidemik dunia. Baru tahun 1817, muncul strain yang lebih ganas dan menyebar menjadi epidemik yang dikenal dengan asiatic cholera yang disebabkan vibrio cholerae.
Semmelink, peneliti yang pernah memublikasikan studi historis kolera di Indonesia dan India tahun 1885, beberapa kali menghubungkan tipe kolera baru itu dengan cuaca abnormal, yakni hujan dan dingin pada tahun 1815 serta kekeringan dahsyat tahun 1816. Kekeringan dahsyat itu mengakibatkan kelaparan. Cuaca yang tidak keruan menyebabkan gagal panen di banyak tempat.
Perubahan struktur tanah, musim yang tidak teratur, dan kelaparan di Banglades tahun 1816 diduga meningkatkan epidemik. Terlebih lagi dengan kondisi bangkai hewan dan jenazah manusia yang tidak terkubur baik. Kondisi alam yang tidak menguntungkan itu juga melemahkan daya tahan tubuh.
Dengan kombinasi beberapa faktor itu kolera jadi mudah menular dan ganas. Erupsi itu secara langsung dan tidak langsung memengaruhi pembentukan bentuk baru kolera yang lebih agresif.
Semua itu memang masih bisa diperdebatkan. Akan tetapi, kedahsyatan bencana akibat letusan Gunung Tambora adalah suatu keniscayaan.... (ine/ken)

No comments: