Thursday, October 11, 2007

Apa Kabar Idulfitri?


SEPULUH hari terakhir seharusnya adalah saat menemukan pengalaman rohani (lailatulqadar) yang digambarkan penuh berkah "seribu bulan", situasi yang dipenuhi pasukan malaikat yang datang membawa kedamaian bagi manusia takwa. Namun, seperti lazimnya tahun-tahun lalu, malam akhir Ramadan adalah malam-malam sepi, jemaah masjid semakin "maju" (tinggal saf terdepan). Simpulnya, saya lebih sibuk memikirkan mudik dan baju baru daripada lailatulqadar. Astagfirullah....

Sepuluh hari terakhir Ramadan memang benar-benar terasa berat. Terutama membayangkan macetnya jalanan mudik dan harga-harga yang melambung tinggi. Kerap muncul pikiran seperti ini, "Andai saja, Idulfitri tak harus mudik dan tanpa ada perayaan tentulah situasinya tidak akan seperti ini." Serentak muncullah kekesalan terhadap Idulfitri, lalu di mana semua sukacita penyambutan Ramadan yang pernah saya lakukan? Kalau dulu saya pernah menyambutnya dengan sukacita, seharusnya sekarang adalah saat berdukacita karena berpisah dengan Ramadan?

Imsak dan madrasah takwa

Ramadan atau imsak adalah saat "pengendalian hawa nafsu". Ramadan adalah madrasah takwa, suatu sekolah yang mengajari pengendalian diri. Namun -- kalau kita hendak jujur -- kita telah mengubah Ramadan menjadi bulan penuh kemanjaan. Bulan yang menyulap kita menjadi merasa berhak dimaklumi oleh banyak pihak lain, bulan yang membuat kita menoleransi diri dalam kemalasan. Padahal, "menjadi takwa" adalah menjadi subjek yang proaktif memberikan pembebasan, kebahagiaan, dan sukacita pada banyak pihak. Lalu, kualitas takwa seperti apakah yang akan kita raih bila selama berpuasa kita justru melatih kemanjaan, bukan melatih menjadi subjek anfa'uhum linnas (yang memberi manfaat bagi pihak lain).

Ya, Ramadan diam-diam telah diubah oleh kita sebagai bulan penuh dengan hawa nafsu. Terutama pada hari-hari akhir ini. Lihatlah, betapa panjang antrean orang yang telah berlelah payah menahan makan dan minum lalu merasa berhak mendapatkan baju baru. Semua toko memproduksi "mesih hasrat", mesin yang membuat hasrat kita untuk memiliki semakin meluap-luap, melalui iklan atau tulisan obral.

Akan tetapi, betapa bebalnya saya. Di tengah kemanjaan itu, saya masih juga merasa berhak mendapat rahmah, magfirah, dan keterbebasan dari siksa panas neraka. Padahal, seorang sufi pernah bilang satu rumus rohani, "Allah akan memberikan apa yang kamu berikan pada pihak lain." Rumus rohani ini adalah rumus kerahiman air, yang rela turun ke dalam tanah dan tampak dari sisi luar demi menghidupi tanaman. Dalam konteks Ramadan, Allah akan memberikan rahmah, bila kita menyebarkan rahmah pada pihak lain, Allah akan memberikan magfirah-Nya bila kita aktif memaafkan dan memohon maaf pada semua pihak dan Allah akan memberikan pembebasan siksa neraka, bila kita membebaskan sanak saudara fakir miskin kita dari kesengsaraan duniawi.

Pada akhir Ramadan, pada saat semuanya akan dipungkas oleh Idulfitri, saya merasakan kepedihan yang luar biasa. Saya telah melepas kesempatan belajar takwa dari Ramadan, padahal tak ada yang bisa memastikan bisa bertemu kembali dengan Ramadan. Duh, Rabb, kenapa Ramadan ini tidak juga mengubah hati yang dapat mendorong pada ketakwaan, pada pembebasan fakir miskin?

Baju baru, mudik baru

Keinginan mendapat lailatulqadar membuat kita pantas berduka, apalagi setelah menyadari betapa Ramadan tak juga mengubah ulat diri ini menjadi kupu-kupu takwa. Dan hasrat bertemu lailatulqadar ternyata bertabrakan juga dengan hasrat mudik.

Mudik tak sekadar berlebaran di kampung halaman, demikian ungkap banyak ahli, mudik adalah peristiwa budaya yang sarat spiritualitas. Ya, semuanya itu benar. Akan tetapi yang lebih pasti, mudik juga memberikan ketegangan yang menyita waktu. Ditambah mudik, Idulfitri tak lagi peristiwa penuh kemenangan; Idulfitri tak sekadar bersalaman dengan penuh permohonan maaf. Idulfitri telah menjelma menjadi sejumlah biaya untuk transportasi dan membeli baju baru sebagai bekal kontes di hadapan sanak saudara.

Idulfitri adalah juga baju Baru. Selain ketupat, memberikan zakat fitrah pada fakir miskin (apa pun agamanya). Tindak saling memaafkan, angpaw, baju baru adalah penanda utama keriangan di Idulfitri. Tanpa baju baru, Idulfitri pun tak absah. Maka, kenangkanlah keringat kita yang menetes beberapa pada hari yang lalu di pasar atau di mal (yang dengan murah hati memberi diskon besar) untuk mendapat baju baru.

Dari mana datangnya tradisi baju baru? Memang begitulah sunnahnya, kita harus mengenakan baju bagus pada saat hari kemenangan, Idulfitri. Hanya, yang disunnahkan bukanlah baju baru, melainkan di beberapa pedesaan, anak-anak SD mengenakan baju bukan baju baru. Kalau bukan dari sunnah, berarti ada sumber lain? Ya, sumbernya adalah dari tradisi orang tua yang sedang mendidik anaknya, "Nak, kalau kau khatam puasa akan Bapak berikan baju baru yang kamu suka!" Lalu sang anak berpuasa dengan tangguh sambil membayangkan baju baru menempel di badannya.

Kemungkinan kedua adalah dari tradisi masyarakat miskin. Yaitu mereka yang hanya memiliki satu dua pasang baju yang dikenakan dalam segala momen, tidur memakai baju itu, bermain mengenakan baju yang sama, bersekolah pun masih baju yang itu-itu juga. Tentu saja, baju yang itu-itu saja itu sudah tak jelas apa warna dan baunya, maka pada setiap tahunnya para orang tua membelikan baju baru buat anaknya yang diberikan sekaligus sebagai hadiah kemenangan Idulfitri.

Maka saksikanlah, di beberapa daerah miskin, anak-anak seumuran SD berlebaran dengan mengenakan seragam merah putih, lengkap dengan topinya atau mengenakan baju Pramuka, lengkap dengan kacu, peluit, dan baret cokelat -- tentu saja minus tongkat Pramuka. Anak-anak itu begitu bangga mengenakan baju sekolah, di mata mereka ada bayangan keindahan bersekolah dengan baju yang tak sobek-sobek lagi. Di pinggir mereka, orang tua miskin meringis karena miris hanya bisa memberikan baju lebaran yang all in one.

Mari kita bandingkan dengan diri kita yang memiliki baju berlemari-lemari, itu pun masih juga merasa perlu menambahi baju baru pada Lebaran ini. Atas fenomena ini, kita dapat merenung kembali ihwal puasa kita. Puasa Ramadan adalah madrasah takwa, yang mengajari kita bersolidaritas pada orang lain -- yang kekurangan -- dan membebaskan mereka.

Salah satu stimulus dari Tuhan adalah sejumlah pahala dan ibadah tambahan. Misalnya memberi makan berbuka bagi fakir miskin akan mendapat pahala satu orang berpuasa atau berpahala 20 tahun iktikaf. Belum lagi ibadah zakat fitrah yang berfungsi sebagai penyempurna bagi puasa sebulan penuh. Semuanya berfungsi untuk memancing solidaritas abadi, seumur hidup. Jadi zakat fitrah itu, kira-kira, bisa disamakan dengan peletakan batu pertama dari bangunan ukhuwah islamiyah.

Bila kita masih saja memikirkan diri sendiri, jangan-jangan kita tidak lulus dari madrasah takwa bulan Ramadan? Bila kita masih marah karena lupa membeli baju baru, jangan-jangan tadarus kita tak sampai pada Q.S. Al-A'raf ayat 26 tentang baju takwa.

"Baju takwa" (libasut taqwa) ini, menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, adalah perangai yang baik, dengan "Makrifat akan menjadi modal utamanya, pengendalian diri sebagai ciri aktivitasnya, kasih asas pergaulannya, kerinduan kepada Ilahi tunggangannya, zikir pelipur hatinya, keprihatinan adalah temannya, ilmu senjatanya, sabar busananya, kesadaran akan kelemahan di hadapan Allah kebanggaannya, zuhud (tidak terpukau oleh kemegahan duniawi) sebagai perisainya, kepercayaan diri menjadi harta simpanannya dan kekuatannya, kebenaran sebagai andalannya...." Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik (QS 7:26).

Meraih keikhlasan

Semua keluhan ini adalah bukti betapa saya tak bisa ikhlas menerima perintah Ramadan. Kalaulah saya ikhlas, pastilah tak ada alasan untuk memanjakan diri; kalau ada keikhlasan di hati ini, tak ada ruang bagi keluhan menyediakan biaya mudik atau baju baru. Keikhlasan itu, konon, seperti air suci yang meluap-luap yang menyingkirkan seluruh luka hati (rasa kesal atau dendam, rasa tidak puas atau ingin dipuji).

Amal yang dilakukan dengan ikhlas -- menurut para sufi -- akan memiliki kekuatan untuk terbang ke langit menghadap hairat Allah untuk Dia nilai. Sebaliknya, amal yang tidak ikhlas, akan tetap tinggal di bumi (hanya dinilai atau dihargai manusia). Lalu amal yang ikhlas itu akan dapat menurunkan balasan (jaza') dari Allah. Mumpung ada satu dua hari lagi, saya mau belajar ikhlas.

Sebelum Ramadan berakhir, selagi masih ada sisa satu dua hari, mudah-mudahan kita dapat melengkapi diri dengan keikhlasan. Mudah-mudahan masih tersedia lailatulqadar yang membuat kita mendapat predikat Aidin (orang yang kembali pada fitrahnya) dan Faizin (pemenang yang telah mengendalikan hawa nafsunya menjadi takwa).

Selamat Idulfitri, selamat menuai takwa! ***
Oleh BAMBANG QOMARUZZAMAN
Penulis, dosen pada Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung

No comments: