Tuesday, October 09, 2007

Mau Melaksanakan Idulfitri Jumat atau Sabtu?


Tahun ini, umat Islam di Indonesia besar kemungkinan kembali merayakan Idulfitri 1428 H pada hari yang berbeda. Pasalnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah menetapkan bahwa 1 Syawal 1428 H jatuh hari Jumat (12/10). Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama sampai saat ini belum memutuskan karena masih akan memastikan setelah melihat bulan sabit (hilal) Kamis (11/10) malam. Sedangkan Pemerintah Indonesia melalui Departemen Agama baru akan memastikan 1 Syawal 1428 H setelah menunggu hasil sidang itsbat yang akan digelar di Departemen Agama Rabu (11/10) mendatang.
SEORANG petugas menggunakan alat teropong khusus untuk melihat datangnya hilal dari atas menara Masjid Raya Bandung, beberapa waktu lalu.*ANDRI GURNITA/"PR"
Peran ormas Islam di Indonesia sangat dominan. Hasil keputusan sidang itsbat awal Ramadan atau Idulfitri biasanya tidak berpengaruh pada keputusan yang ditetapkan oleh pimpinan masing-masing ormas.
Keputusan PP Muhammadiyah didasarkan pada hisab (perhitungan falakiyah) bahwa (konjunksi) menjelang Syawal terjadi Kamis Legi, 11 Oktober 2007, pukul 12:02:29 WIB. Tinggi hilal pada saat terbenam matahari di Yogyakarta = +00 37' 31'. Meskipun hilal di wilayah Timur Indonesia belum mewujud, namun hilal sudah mewujud di wilayah Barat Indonesia.
Ahli Falak Muhammadiyah yang juga Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Oman Faturahman meyakini pergantian bulan ditandai batas nol derajat. Artinya, apabila bulan sudah masuk pada ijtimak (0 derajat) maka artinya setelah hal tersebut terjadi merupakan awal dari bulan baru.
Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) menganut sistem rukyat, yakni harus ada orang yang dengan mata melihat hilal di akhir Ramadan. Jika tidak seorang pun melihat bulan sabit di hari ke-29 Ramadan, maka Ramadan dilaksanakan selama 30 hari (istikmal).
”Kemungkinan Lebaran bareng ada. Kemungkinan beda juga ada. Kami akan pastikan setelah melihat bulan sabit yang tampak Kamis malam. Kalau utuh, berarti besoknya kita Lebaran,” kata Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi, usai melayat pimpinan Pesantren Cipasung K.H. Ilyas Ruhiat di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Sabtu (6/10).
Menurut Peneliti Utama Astronomi dan Astrofisika, Lapan Bandung, Thomas Djamaluddin, masalah utamanya bukan pada perbedaan antara hisab dan rukyat, tetapi pada perbedaan kriteria awal bulan yang digunakan. Hisab dan rukyat, lanjut Djamaludin, bisa bersatu kalau kriterianya sama. Bila beberapa tahun lalu tidak terjadi perbedaan, bukan berarti telah ada kesepakatan, tetapi lebih disebabkan oleh posisi bulan dan matahari yang memungkinkan semua kriteria yang digunakan di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama.
Upaya menyamakan kriteria itu terus dilakukan. Pertemuan dan diskusi antarormas Islam untuk membahas kriteria itu terus dilakukan. Pemerintah, melalui Departemen Agama berulangkali menjalankan perannya untuk mencari solusi terbaik dengan harapan semua umat Islam bisa merayakan Idulfitri pada hari yang sama.
Wapres Jusuf Kalla berkomentar keras terhadap fenomena tersebut. Tak aneh, ketika kedua pimpinan ormas tersebut bertemu di Kantor Wapres, Jusuf Kalla berkomentar, “Orang AS sudah ke bulan. Kita ngintip bulan saja masih dipertentangkan,” ujar Menteri Agama RI, Maftuh Basyuni meniru ucapan Kalla.
Kendati begitu, Maftuh mengaku gembira, pimpinan dan para pakar astronomi dari kedua ormas sudah membuka diri dan mau bertukar pikiran. Mereka mendiskusikan tentang kalender Masehi, mencari metode yang tepat dan menyamakan terminologi sampai kepada metode yang akan digunakan untuk masa datang.
Ia mengatakan, upaya mencari titik temu antara pihak-pihak yang berbeda dalam menentuan hari puasa dan Lebaran telah dilakukan. Dimulai pada 18 September lalu, diundang wakil-wakil ormas Islam, Lapan, ITB, dan Planetarium untuk membahas masalah tersebut.
Kemudian pada 24 September, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dipertemukan di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla, dihadiri Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, dan cendekiawan Muslim Quraish Shihab. “Dalam pertemuan itu kedua belah pihak mengarah kepada persatuan,” ujar Maftuh.
Pertemuan berlanjut pada 2 Oktober lalu di kantor PBNU dilangsungkan pertemuan antara pakar-pakar Muhammadiyah dan NU. “Hasil pertemuan menggelinding ke arah persatuan,” ungkapnya seraya menambahkan akan ada pertemuan lanjutan usai hari Lebaran di kantor PP Muhammadiyah, lalu di kantor Departemen Agama Pusat.
Jumat atau Sabtu?
Kalau begitu sebaiknya kita melaksanakan salat Idulfitri Jumat (12/7) atau Sabtu (13/10)? Terserah, sesuai dengan keyakinan masing-masing. Merayakan Lebaran Jumat, memiliki landasan yang kuat dari hasil hisab (perhitungan falakiyah). Bukankah selama ini berbagai hitungan ilmiah yang didasarkan pada ilmu falak dan astronomi sedikit yang meleset? Bukankah selama ini hitungan para ahli yang memprakirakan bahwa akan terjadi gerhana bulan atau peristiwa-peristiwa alam lainnya selalu tepat? Bukankah ketepatan hitungan mereka layak menjadikan kita percaya dengan mereka?
Sebaliknya, mereka yang akan merayakan Idulfitri didasarkan pada rukyat juga tidak salah. Sikap mereka merupakan wujud ketaatan kepada Allah dan Rasulnya yang menganjurkan agar kita melihat bulan dalam melaksanakan puasa atau meninggalkannya. Sikap taat ini merupakan nilai tertinggi dalam beragama.
Memilih berlebaran Jumat atau Sabtu merupakan wujud ijtihad, mencari solusi didasarkan pada argumen yang sahih. Barang siapa melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah, maka orang tersebut mendapatkan nilai pahala 1 poin. Sebaliknya, barang siapa berupaya melakukan ijtihad dan ternyata hasilnya benar, maka orang tersebut mendapatkan nilai pahala 10 poin. Dalam hal ini tidak ada nilai minus apalagi berdosa bagi yang melaksanakan ijtihad. Apalagi jika ijtihad yang dilaksanakannya didasarkan pada keinginan mencari rida Allah SWT, bukan niat yang lain.

No comments: